Ai Yuningsih, Perempuan Tangguh Pemeta Laut

Rumahnya bisa dikatakan berada di atas. Mungkin tidak tepat dikatakan berada di gunung, karena masih berada di lingkup kota Bandung. Hanya, posisinya saja berada di perbukitan. Namun, meski berada di ketinggian, kecintaannya tidak lepas dari laut, bahari.

Bu Ai Yuningsih, pemilik rumah itu, mungkin bukan siapa-siapa. Namanya tidak bergaung, mungkin. Hanya kalangan dekat saja yang tahu kiprah perempuan yang saya panggil Teh Ai. Beliau adalah seorang perempuan lulusan Fisika Unpad yang berkiprah di dunia yang notabene dikuasai laki-laki: pemetaan laut. Geologi Kelautan. Tidak punya jabatan struktural tapi lebih memilih jabatan fungsional, tepatnya sebagai Penyelidik Bumi Madya di Badan Litbang KESDM.

Tangguh

Itu mungkin kata yang tepat disematkan pada ibu tiga orang anak perempuan ini. Beliau bisa dikatakan termasuk segelintir perempuan yang berkiprah di pemetaan laut saat ini. Bagaimana tidak? Lebih dari dua puluh tahun masa kerjanya dibaktikan untuk melaksanakan tugas melakukan pemetaan laut.

Pekerjaan yang sengaja dipilihnya, meski mungkin sebenarnya sebagai seorang ibu cocoknya bekerja di belakang meja. Pekerjaan itu mengharuskan beliau bekerja di lapangan, a.k.a laut, berada di kapal besar dengan masa yang panjang dengan hitungan minggu sampai 30 harian. Sebuah pekerjaan mengukur kedalaman, mengidentifikasi mineral sampai dengan energi alternatif apa selain migas yang bisa dihasilkan sumber laut kita, seperti arus, ombak, gelombang, pasang surut. Bahkan, untuk pemetaan migas dan pemetaan landas kontinen, perbatasan antar negara, itu bisa sampai 30-60 hari di kapal. Itu berarti beliau kuat dalam sisi fisik – termasuk terbiasa dengan mabok laut :) – dan juga dari segi mental – termasuk masalah kangen keluarga dan kebosanan.

Ditemui sehari sebelum Lebaran kemarin, berikut wawancara santai dengan beliau tentang hal-hal menarik di luar pekerjaan intinya.

Memang aman Teh sebagai perempuan kerja di laut seperti ini? Kalau ke laut, perempuannya biasanya berapa orang?

Lebih sering sendirian, paling ada satu mahasiswi kelautan yang ikut. Kalo penelitian arus, saya beberapa kali menjadi team leader, dan pada beberapa kesempatan perempuannya sendiri. Alhamdulillah aman tuh. Kalo saya sih lebih seperti gimana ya, saling percaya saja. Saling percaya, jadinya anggota tim yang pria justru lebih care. Ya mungkin sedikit emansipasi. Biasa aja, jadi kita disamakan tapi tetap sebagai perempuan. Tapi bagi saya, saya juga tidak mau diistimewakan, dianggap mengganggu, istilahnya manja. Demikian pula kalau mendarat ke daerah-daerah yang bisa dikatakan terpencil. Karena sudah menjadi satu tim, saya Alhamdulillah aman.

Suatu Hari di Awal Senja... Aku duduk sendiri... Memandang jauh ke sana heart emoticon, Labuhan Bajo | Foto: Ai Yuningsih

Apa yang menarik dari pekerjaan seperti ini, di luar teknis pekerjaan yang sepertinya sudah jadi passion Teh Ai?

Ada kesempatan kita mengunjungi daerah-daerah Nusantara dengan segala karakteristiknya. Saya selalu bawa kamera saya, memotret sunset dan sunrise di laut-laut yang dikunjungi. Bagus-bagus. Indonesia itu pemandangannya masya Allah, keren. Apalagi pemandangannya diambil dari posisi yang tidak banyak orang bisa lakukan. Ada keinginan sih membukukan foto-foto itu atau menulis cerita-cerita yang menyertainya. Ya, mudah-mudahan suatu saat bisa mewujudkannya.

Senja di Nusa Penida | Foto: Ai Yuningsih

Daerah mana yang paling bagus di Indonesia menurut Teh Ai?

Sebenarnya hampir semua menarik. Apalagi daerah-daerah yang penduduknya sudah sadar dengan lingkungan dan pariwisata seperti Nusa Penida, Bali, Natuna. Tapi ada juga beberapa daerah yang katanya sudah mendunia dan terkenal dengan pemandangan bawah lautnya yang indah. Tapi kalo lihat lebih dekat di dekat daratnya, biota yang hidup tipikal untuk air yg sudah tercemar. Kalau sudah liat banyak bulu babi, maka airnya itu sudah tercemar. Pulau itu kecil, pemandangannya bagus, pantainya berpasir putih. Tapi sepanjang pantainya banyak sampah. Sepertinya perlu ada pendidikan kebersihan untuk mengubah kebiasaan penduduk buang sampah saat pasang. Katanya nanti dibawa ke laut, padahal nanti kalo pasang kan balik lagi.

Menembus batas cakrawala — at Pantai WTC ( Waisai Torang Cinta ) Kab.Raja Ampat | Foto: Ai Yuningsih

Apa yang membuat Teh Ai down selama bekerja?

Jauh dari anak dan keluarga mah tidak perlu diceritakan lagi ya. Ya, gimana ya. Sebagai ibu gitu loh. Di luar itu ada dua hal yang pernah membuat down dan terasa menyakitkan.

Pertama ketika alat-alat survey datangnya telat. Sebagai leader, saya kan bertanggung jawab terhadap pencapaian kerja tim. Tapi kalo alat-alat datang telat, saya sampai pengen nangis, karena pastinya target performance jadi tidak tercapai. Apalagi jika tahu bahwa keterlambatan itu adalah akibat sesuatu yang sebenarnya bisa dihindari oleh orang lain yang bertugas. Padahal, pekerjaan hidro-oseanografi itu tergantung iklim dan waktu, jadi telatnya alat akan sangat berpengaruh..

Hal lain yang dirasakan menyakitkan adalah omongan orang. Ketika ada yang nyeletuk ‘Ih, kasihan amat yah saking butuh duit sampe tega ninggalin anak?”. Itu beneran menyakitkan, apalagi yang ngomong itu perempuan. Padahal kan belum tentu dia tahu latar belakang alasan saya kerja. Padahal saya ingin tidak menggunakan keperempuannan saya untuk menghindari tugas.

Tanjung Batu Item, Kecamatan Sijuk, Belitung | Foto: Ai Yuningsih

Apa yang menjadi kegalauan atau dilema Teh Ai sebagai ibu bekerja?

Mencari cara bagaimana supaya bisa tetap bekerja secara profesional dan menjadi ibu yang baik dengan menjaga kebersamaan dengan keluarga memang merupakan perjuangan yang amat sangat berat. Dulu saya pernah menyalahkan keadaan atau menyalahkan siapa saja yang bisa saya salahkan. Tapi seiring berjalannya waktu rasanya sudah lama tidak menjadi persoalan dalam keluarga, dengan memahami berbagai risikonya dan berusaha memposisikan diri secara tepat. Dengan berfikir bahwa saya punya pilihan, semua ibu punya pilihan dan semua perempuan juga punya pilihan. Dengan begitu setidaknya saya selama ini masih bisa mengatasi dilema itu.

Katanya siiiih jenis pekerjaan atau profesi saya ini dan jam kerjanya agak sedikit ‘tidak ramah keluarga’, karena kerap harus meninggalkan keluarga dalam jangka waktu tertentu yang lebih lama dari jam kerja normal. Ya kantor saya bisa dibilang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Tapi buat saya sama saja yang namanya bekerja dimanapiun dan profesi apapun bahkan jadi ibu rumah tanggapun, tetap harus profesional mempergunakan waktu. Tapi yang terbaik bagi saya belum tentu menjadi terbaik bagi orang lain. Intinya, masing-masing punya pilihan. Kalau memilih berhenti bekerja dan mengondisikan diri untuk menjadi seorang ibu rumahtangga sepenuhnya berarti harus siap dengan segala konsekuensinya demikian pula kalau memilih tetap bekerja harus bisa mengatasi berbagai hal yang juga akan muncul sebagai akibatnya. Dan semua perempuan harus menghormati dan mendukung pilihan yang dibuat perempuan lainnya demi keluarganya bukan malah menghakiminya.

...Karena TAWA mereka begitu BERHARGA — at Pulau Alor-Nusa Tenggara Timur | Foto: Ai Yuningsih

Apakah suka ada perasaan bersalah?

Memang sih seberapa keraspun usaha saya untuk menyeimbangkan peran, tetap saja perasaan bersalah akan muncul. Terlebih, tidak semua orang di kantor mungkin paham dengan kondisi kita yang sebelum berangkat ke kantor harus mengurus anak-anak atau kerepotan ala ibu ibu lainnya. Atasan dan rekan kerja di kantor pasti menuntut kita tetap bekerja optimal di kantor maupun di lapangan. Apalagi sistim penilaian Pegawai Negeri Sipil saat ini juga melihat dari kontrak kinerjanya. Sementara di rumah, suami dan anak anak juga harus mendapatkan perhatian yang terbaik dari istri dan ibunya.

Berpakaian dinas lapangan | Foto: Ai Yuningsih

Tapi ingat jangan menjadikan alasan mengurus anak untuk pembenaran kita tidak optimal mengerjakan tugas kantor, serta menjadikan mereka kambing hitam untuk alasan kita tidak bersikap profesional dalam bekerja. Ya...karena kita sudah memilih. Bangun jam 4.00 dinihari, memasukkan pakaian kotor ke mesin cuci, menyiapkan seragam sekolah anak-anak yang belum sempat disetrika, membuat sarapan, mandi, shalat subuh, jemur pakaian, nunggu anak-anak dijemput dan berangkat ke sekolah, sampai berangkat ke kantor dengan ojek disambung angkot.

Alhamdulillah bisa tiba di kantor dan menyentuh finger print tepat beberapa menit sebelum jam 7.30. Sorenya harus dipastikan sudah ada di rumah sebelum anak-anak datang. Itulah keseharian saya saat ini agar keluarga di rumah merasakan memiliki ibu dan istri.

Keluarga adalah hal utama | Foto: Ai Yuningsih

Alhamdulillah selama ini tidak pernah menjadi dilema yang berkepanjangan. Jangan terlalu menuntut diri untuk sempurna. Saya tetap bekerja secara profesional dikantor dengan niat membantu jihad suami dan saya sangat juga menikmati menjalani profesi yang paling mulia ‘menjadi seorang istri dan ibu dari 3 putri yang cantik. Itu tentu saja satu paket dengan segala pekerjaan ‘rumah tangga’nya. Semua harus dilakukan dengan ikhlas, karena suami dan anak-anakku adalah syurga atau neraka-ku...bagaimana saya memperlakukan mereka saat ini, maka itu yang akan saya dapat kelak di kemudian hari.

Ai Yuningsih dan penulis saat wawancara | Foto: Rifki Feriandi

Dengan kemerdekaan, perempuan Indonesia pun mendapatkan kemerdekaan untuk menentukan pilihan. Namun demikian, apapun yang menjadi pilihan itu, seorang perempuan harus konsekuen akan apa yang terjadi sebagai akibatnya dan juga profesional. Sebagai perempuan, jangan lupakan pula profesi paling mulia sebagai ibu dan istri dalam rumah tangga.

(Bidang Afiliasi dan Informasi)

sumber - Kompasiana.com, artikel ditulis oleh Rifki Feriandi

Leave a comment

Full HTML

  • Web page addresses and e-mail addresses turn into links automatically.
  • Lines and paragraphs break automatically.

Plain text

  • No HTML tags allowed.
  • Web page addresses and e-mail addresses turn into links automatically.
  • Lines and paragraphs break automatically.