D. Kusnida, I.W. Lugra dan L. Sarmili - Puslitbang Geologi Kelautan
S a r i
Sedimentasi yang dicirikan oleh pertumbuhan pulau-pulau baru dan daratan di Sagara Anakan, setidaknya sejak tahun 1944 hingga sekarang, berawal dari proses pasang surut yang terjadi di Sagara Anakan. Kecepatan dan arah arus Citanduy merupakan faktor dominan dalam proses sedimentasi di Sagara Anakan. Penggabungan kecepatan dan arah arus Citanduy dengan kecepatan dan arah pasang surut laut menghasilkan resultante di Sagara Anakan berarah timur-tenggara.
Pendahuluan
Sagara Anakan (Gambar 1), merupakan sebuah estuari tempat bermuaranya sungai Citanduy, Cikonde dan Cibeureum di bagian barat dan utara, serta sungai Cimeneng, Cikonde dan Sapuregel di bagian timur laut
dan timur. Kondisi alam yang kondusif ini menghasilkan interaksi ekologis yang sangat serasi antara hutan bakau dan keberadaan biota air di sekitarnya. Sagara Anakan menjadi tempat berkembang biaknya udang dan berbagai jenis ikan dengan jumlah yang cukup besar. Pada tahap berikutnya, udang dan ikan-ikan ini bermigrasi ke laut lepas dan tumbuh besar di sekitar perairan Cilacap dan Pangandaran.
Dengan semakin terbatasnya potensi sumberdaya di darat, kawasan pesisir dan estuari Sagara Anakan telah menjadi alternatif bagi kegiatan yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitarnya. Beberapa permasalahan yang kemudian timbul terhadap lingkungan perairan Sagara Anakan adalah adanya penguasaan dan pemanfaatan lahan pesisir secara berlebihan. Hal ini telah menimbulkan degradasi kualitas
dan kuantitas sumberdaya estuari Sagara Anakan yaitu berkurangnya potensi hutan bakau, menurunnya kualitas air estuari (lumpur dan pencemaran), serta berkurangnya populasi dan produksi ikan.
Isu menarik dari keberadaan estuari Sagara Anakan saat ini adalah terjadinya proses sedimentasi yang cepat dan telah mengakibatkan semakin menyempitnya wilayah perairan di Sagara Anakan. Data menunjukan bahwa pada tahun 1944 luas Sagara Anakan adalah sekitar 6.450 hektar dan tahun 1992 sekitar 1.800 hektar. Pada tahun 2000 luas estuari ini hanya tinggal 1.600 hektar, sedangkan pada tahun 2005 nanti, luas perairan di Sagara Anakan diperkirakan hanya akan tinggal 600 hektar saja (Sinar Harapan, 1 Mei 2002). Berbagai pemberitaan yang berkembang menyatakan bahwa pendangkalan Sagara Anakan dengan penyebabnya sungai Citanduy, telah pula
mengakibatkan genangan baru yang mengganggu areal persawahan di daerah Sideraja-Cihaur, Kecamatan Kawunganten, Cilacap-Jawa Tengah, dan persawahan di Lakbok Selatan, Ciamis-Jawa Barat.
Untuk melestarikan estuari Sagara Anakan ini, Pemerintah Pusat akan melakukan upaya penyelamatan melalui Sagara Anakan Conservation and Development Project (SACDP). Dalam proyek ini akan dilakukan pengerukan
estuari Sagara Anakan seluas 600 hektar, serta mengalirkan sungai Citanduy melalui sodetan sepanjang tiga kilo meter yang bermuara di Perairan Teluk Nusawere yaitu daerah tangkapan ikan potensial bagi nelayan Ciamis. Namun demikian, rencana ini telah menimbulkan reaksi protes dari daerah yang akan terkena dampak aliran sedimentasi ini, yaitu pihak Pemda Ciamis dan Pengelola Wisata Pangandaran yang khawatir akan menerima limpahan sedimen. Baru-baru ini, karena persyaratan yang diberikan oleh Menteri KLH dirasakan cukup berat, Menteri Kimpraswil telah menunda rencana sodetan Citanduy ini. Keputusan terakhir ini telah pula menimbulkan kekecewaan di pihak Pemda Kabupaten Cilacap – Jawa Tengah yang daerahnya kerap kali tertimpa banjir karena Sagara Anakan tidak mampu menampung limpahan air di kala musim hujan.
Kajian dan penelitian lapangan yang dilakukan oleh Puslitbang Geologi Kelautan yang dilaksanakan pada bulan Mei 2003, merupakan studi komparatif terhadap hasil pemetaan tematik yang telah dilakukan oleh Puslitbang Geologi Kelautan sebelumnya (Sarmili dkk, 2000). Dalam kajian ini titik berat lebih difokuskan pada masalah
pendangkalan dengan menonjolkan hasil pemetaan planimetris terhadap beberapa pulau yang terdapat di Sagara Anakan, pemetaan batimetri, pengukuran kecepatan dan arah arus pasang-surut terutama di perairan Majingklak. Hasil akhir yang diharapkan adalah untuk mengetahui arah sedimentasi dominan yang berpengaruh langsung terhadap proses penyempitan perairan Sagara Anakan pada kurun waktu tertentu, sehingga dapat dijadikan dasar
pertimbangan bagi perencanaan dan pengembangan estuari Sagara Anakan secara lebih arif dan objektif oleh para pengambil keputusan.
Hipothesa
Lingkungan pesisir secara genetis merupakan daerah yang terpengaruh oleh tiga faktor alamiah, yaitu faktor darat (sungai dan hujan), faktor laut (gelombang dan arus) serta faktor atmosfer (udara dan angin). Penggundulan hutan di daerah hulu dapat menimbulkan pengikisan dan erosi lapisan tanah yang kemudian terangkut ke laut.
Pendapat yang berkembang menyatakan bahwa Citanduy merupakan sungai yang dominan membawa muatan sedimen dengan jumlah yang sangat besar (5 juta ton/tahun). Hipothesa adanya proses sedimentasi dan
pendangkalan Sagara Anakan akibat aliran Citanduy dapat dideduksi sebagai berikut :
• Citanduy merupakan sungai yang bermeander (berkelok) dan berada pada stadium tua sehingga mempunyai energi pengangkutan sedimen yang lambat.
• Daerah Majingklak merupakan daerah pertemuan antara muara Citanduy dan perairan Sagara Anakan, dengan demikian akan terjadi reduksi kecepatan arus sungai Citanduy pada saat laut pasang (slack).
• Interaksi antara aliran pengendapan material sungai Citanduy dan aliran pasang surut di Sagara Anakan, akan
merupakan karakter fisik yang dapat diamati secara langsung di daerah Majingklak, dan dapat menunjukan bukti
adanya berbagai bentuk sirkulasi pengendapan muatan sedimen.
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini beberapa metode pengambilan data di lapangan telah dilakukan, yaitu :
• Kedalam perairan Sagara Anakan diukur dengan menggunakan peralatan Echo Sounder Raytheon tipe DE-719C yang dikoreksi dengan data hasil pengukuran pasang surut sebesar 0.42 m.
• Pengukuran kecepatan pasang surut di perairan Sagara Anakan dilakukan di satu titik tetap dengan menggunakan peralatan “Braystoke” BFM001 Current Flow Meter, sedangkan resultante arah dan kecepatan
arus pasang surut laut dan arus Citanduy ditentukan dengan Float Tracking dan Kompas.
• Pemetaan perubahan garis pantai terhadap beberapa pulau dan pencatatan posisi selama survey geofisika dan geologi kesemuanya dilakukan dengan peralatan posisi GPS.
Hasil Penelitian
Batimetri
Kedalaman minimum perairan Sagara Anakan adalah kurang dari 1 meter terutama ke arah timur dan outlet bagian barat di sekitar Solok Jero (Gambar 2). Endapan pasir pada kedalaman sekitar 1 meter membentuk beberapa busur tinggian punggungan di bawah permukaan air sepanjang outlet bagian barat. Tinggian endapan pasir bawah air ini diapit di bagian kiri kanannya oleh alur dengan kedalaman sekitar 4-5 meter. Namun demikian, alur yang dalam ini berakhir dan menjadi dangkal sebelum mencapai daerah Pelawangan.
Kedalaman maksimum di perairan Sagara Anakan berada di bagian ujung barat-laut Pulau Nusakambangan (kemungkinan hasil pengerukan guna kepentingan alur pelayaran Ferry), yaitu sekitar 7-8 meter dan membentuk suatu alur yang terisolasi. Ke arah timur, kedalaman perairan Sagara Anakan secara gradual berkurang menjadi flat kurang lebih 1 meter, kecuali pada alur pelayaran Ferry di bagian selatan yang mencapai kedalaman lebih dari 4 meter pada waktu surut terendah.
Kecepatan dan Arah Arus Pasangsurut
Pengukuran resultante kecepatan dan arah arus pasang surut dilakukan di daerah pertemuan Muara Citanduy, Muara Cibeureum dan Outlet Sagara Anakan ke arah Samudera Hindia yaitu di perairan Pelabuhan Majingklak pada kedalaman 1.50 meter (Gambar 2). Gambar 3, menunjukan karakteristik perioda pasang surut di Sagara Anakan. Perioda kecepatan dan arah arus pasang surut menunjukan bahwa kecepatan arus pasang meningkat dari 0.081 m/detik pada jam 9.30 pagi dengan arah 130o T hingga 0.40 m/detik saat pasang maksimum pada jam 14.30 sore hari dengan arah 87o T, sedangkan antara jam 9.30 pagi hingga jam 14.30 sore hari, kecepatan arus pasang bervariasi antara 0.203 m/detik hingga 0.347 m/detik dengan arah arus seragam yaitu 100o T. Kecepatan arus pasang terendah (slack yang masih dipengaruhi arus Citanduy), yaitu sekitar 0.115 m/detik,terjadi pada jam 15.00 sore, dan selanjutnya diikuti oleh terjadinya arus surut menuju arah 120o T pada jam 15.00. Pada jam 16.00
kecepatan arus surut meningkat menjadi 0.347 m/detik dengan arah 150o T dan
mencapai puncaknya pada jam 17.00 dengan kecepatan 0.40 m/detik dengan arah 170o T atau searah dengan outlet Sagara Anakan menuju Samudera Hindia. Data pengamatan kecepatan dan arah arus pasang surut selama
26 jam (Gambar 3), menunjukan bahwa dengan latar belakang pola pasang surut campuran condong ke harian ganda, ternyata di daerah Sagara Anakan terjadi 4 kali siklus slack secara periodik dan masih dipengaruhi
oleh kecepatan dan arah arus Citanduy masing-masing sekitar jam 09.00, 16.00, 22.00 dan 04.00.
Perubahan Garis Pantai
Hasil pemetaan garis pantai terhadap beberapa pulau yang ada di bagian barat Sagara Anakan, pantai Majingklak, Muara Citanduy serta Teluk Nusawere oleh Puslitbang Geologi Kelautan pada tahun 2003
berdasarkan peta dasar keluaran Bakosurtanal tahun 1999, menunjukan bahwa daerah-daerah tersebut telah tumbuh dan berkembang secara cepat (Gambar 1).
Pulaupulau tersebut tumbuh dan berkembang ke segala arah terutama ke arah barat. Pantai Majingklak tumbuh ke arah timur, sedangkan pantai Muara Citanduy tumbuh ke arah timur dan selatan secara signifikan. Demikian pula halnya dengan pesisir Teluk Nusawere dan Solok Jero yang menunjukan pertumbuhan secara cepat. Teluk Nusa Were dengan luas kurang lebih 5 km persegi serta kedalaman laut rata-rata 2-4 m pada tahun 2000 (Sarmili
dkk, 2000), kini dengan cepat terisi oleh endapan pasir sejauh kurang lebih 100 meter ke arah laut.
Hasil penafsiran geologi foto udara tahun 1944, dan data citra satelit sejak tahun 1982 hingga 1992 (T. Azis, 2003), dengan jelas menunjukan bahwa proses majunya garis pantai di Sagara Anakan berasal dari daerah
timur dan timur-laut. Daerah-daerah tersebut dalam perkembangannya telah menjadi tempat pemukiman, pertanian, dan pertambakan dan terus berlangsung hingga sekarang. Perkembangan daratan ini pada umumnya didominasi oleh sedimen berupa lumpur lanauan sebagai hasil proses pasang surut yang dipercepat oleh adanya kegiatan manusia berupa pembuatan tanggul untuk pembuatan tambak.
Pembahasan
Kecepatan arus pasang laut di Sagara Anakan ternyata lebih kecil dibandingkan dengan kecepatan arus Citanduy, namun demikian masih mampu mengangkut sedimen suspensif ringan yang berasal dari Citanduy melalui outlet bagian barat ke arah timur dan tenggara Sagara Anakan akibat adanya penggabungan dan resultante arah dari kedua jenis arus tersebut di atas. Arus pasir dan sedimen apung berbalik arah masuk di estuari pada saat pasang. Pengendapan pelumpuran, dan pengotoran yang terjadi di estuari Sagara Anakan saat ini sedang berlangsung pula di Teluk Nusawere dan Pangandaran. Dugaan dan kekhawatiran pencemaran saat ini telah dan sedang menimpa daerah Sagara Anakan, Pelawangan dan Teluk Nusawere. Pada saat sedimen dimuntahkan dari
Pelawangan, arus laut memanjang pantai yang diimbuh oleh ombak pada musim timur di mana angin bertiup kencang dari tenggara, tampak bahwa refraksi dan difraksi ombak menggusur air yang keruh oleh sedimen
apung ini ke arah barat menuju pantai Teluk Nusawere (Sugandar, 2003).
Menurut Sugandar (2003), proses pembentukan tombolo di Tanjung Nusawere tampaknya diakibatkan oleh arus hidrodinamik ombak yang menerpa Tanjung Nusawere. Sedimen dasar (pasir) yang berasal dari Sungai Citanduy, pada waktu banjir arus sungai yang bertepatan dengan surut laut, kemudian terangkut sampai di ujung Tanjung Nusawere, dan selanjutnya arus yang diimbuh ombak membelokan pasir dan sampah ke Teluk Nusawere. Pantai teluk Nusawere sekarang sudah semakin maju ke arah laut dan diperkirakan dalam beberapa
tahun mendatang akan membentuk pantai yang sejajar dengan pulau Nusawere di bagian timur dan bukit Pamotan di sebelah barat. Data satelit memperlihatkan bahwa pada musim timur, plume sampai pada jarak 10 km dari pantai, dan melebar sampai 5 km ke samping. Dengan kondisi seperti ini, kita dapat memastikan bahwa plume akan membelok ke arah barat ke perairan Teluk Nusawere dan Pangandaran. Foto satelit tahun 1992 menunjukan bahwa plume yang berasal dari muntahan outlet Sagara Anakan sampai ke Pananjung (tombolo Pangandaran).
Berdasarkan data batimetri tahun 2000 (Sarmili drr, 2000), kedalaman perairan Sagara Anakan rata-rata adalah 6 – 7 meter kecuali di sepanjang outlet estuari bagian barat mencapai kedalaman 9 – 10 meter. Dalam kurun waktu 3 tahun terakhir ini (Gambar 2), perubahan kedalaman perairan Sagara Anakan sangat signifikan dan mengkhawatirkan. Kedalaman minimum perairan Sagara Anakan pada bulan Mei 2003 adalah kurang dari 1 meter terutama ke arah timur-laut dan outlet bagian barat di sekitar Solok Jero. Endapan pasir pada kedalaman sekitar 1 meter membentuk beberapa busur punggungan di bawah permukaan air sepanjang outlet bagian barat. Tinggian endapan pasir bawah air ini diapit di bagian kiri kanannya oleh alur dengan kedalaman sekitar 4-5 meter. Namun demikian, alur yang dalam ini berakhir dan menjadi dangkal sebelum mencapai daerah Pelawangan. Kedalaman maksimum di perairan Sagara Anakan masih dijumpai di bagian ujung baratlaut P. Nusa Kambangan (kemungkinan hasil pengerukan guna kepentingan alur pelayaran Ferry), yaitu sekitar 10-11 meter dan membentuk suatu alur yang terisolasi. Ke arah timur, kedalaman perairan Sagara Anakan secara gradual berkurang menjadi datar kurang lebih 1 meter, kecuali pada alur pelayaran Ferry di bagian selatan yang
mencapai kedalaman lebih dari 4 meter pada waktu surut terendah.
Kesimpulan
Terdapat beberapa hal menarik dalam kegiatan pengukuran dan pengamatan resultante kecepatan dan arah arus pasangsurut di daerah Majingklak ini, yaitu tidak diperolehnya data arah pasang yang mengarah ke Muara Citanduy. Sebaliknya, arah dan kecepatan arus pasang surut di Sagara Anakan semuanya merupakan hasil penggabungan antara pasang surut laut dengan arah dan kecepatan arus Citanduy yang tampaknya lebih dominan. Selepas momentum slack yang terjadi di perairan Majingklak, arus Citanduy dengan cepat mengalir menuju outlet Sagara Anakan. Dalam perjalanannya menuju Samudera Hindia, terutama pada saat proses surut, aliran Citanduy ini membuat arus putar di daerah Majingklak dan di daerah Solok Jero mengendapkan butiran pasir. Kecepatan dan arah arus Citanduy merupakan faktor dominan dalam proses pasang surut di Sagarra Anakan.
Penggabungan kecepatan dan arah arus Citanduy dengan kecepatan dan arah pasang surut laut menghasilkan resultante di Sagara Anakan berarah timur-tenggara. Sugandar (2003) menyatakan bahwa sedimen apung yang membangkitkan pendangkalan di Estuari Sagara Anakan bukanlah berupa sedimen dasar-pasir. Karena itu, sumber dari sedimen apung harus dicegah di hulu daerah sungai Citanduy (6 juta ton/tahun total) dan sungai-sungai yang bermura di Estuari Sagara Anakan di Provinsi Jawa Tengah (1 juta ton/tahun total).
Dari data dan pembahasan di atas, penulis menyimpulkan bahwasanya sedimentasi yang dicirikan oleh pertumbuhan pulaupulau baru dan daratan di Sagara Anakan, setidaknya sejak tahun 1944 hingga sekarang,
berawal dari proses pasang surut yang terjadi di Sagara Anakan. Apabila sodetan Citanduy jadi dilaksanakan seperti rencana selama ini, akan terdapat dua daerah yang mengalami perubahan ekologi dan kita belum tahu
akibatnya. Pertama adalah di Sagara sendiri khususnya di sekitar Majingklak, dan yang kedua adalah di perairan Teluk Nusawere. Faktor-faktor perubah tersebut diantaranya adalah salinitas (kegaraman), temperatur (suhu), turbiditas (kekeruhan air) dan kandungan nutrien yang kesemuanya akan berpengaruh langsung terhadap kondisi
geo-biokimia perairan di daerah-daerah tersebut di atas. Dengan dibuatnya sodetan Citanduy, dapat diramalkan akan terjadinya penggabungan dua buah plume masing-masing dari Palawangan (muara Sagara Anakan sekarang) dan dari kanal sodetan Citanduy (Teluk Nusawere). Penggabungan dua plume ini diperkirakan akan memperluas tingkat kekeruhan air laut ditambah dengan polusi sampah yang bergerak lebih ke arah Pangandaran. Hal ini bisa diramalkan mengingat arah angin dominan tahunan di daerah Cilacap dan Pangandaran adalah dari tenggara yang selanjutnya membangkitkan gelombang ke arah barat laut yaitu ke arah pantai Teluk Pangandaran. Demikian pula halnya dengan pola arah arus laut di daerah ini yang cenderung menyusuri Teluk
Pangandaran disamping adanya runoff (aliran air) dari darat. Pola arus laut regional ini dikhawatirkan pula akan membawa berbagai macam sampah dan material suspensif lainnya ke arah Pangandaran dan merusak koloni terumbu karang dan daerah wisata cagar alam Pananjung.
Saran
Dari data dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwasanya sumber sedimentasi yang dicirikan oleh pertumbuhan daratan di Sagara Anakan, setidaknya sejak tahun 1944, berawal dari proses pasang surut. Konservasi Sagara Anakan dapat dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
• Segera (urgent !) dilakukan kanalisasi sepanjang alur tempat bermuaranya sungai Citanduy, Cikonde, Cibeureum dan Cimeneng di Sagara Anakan. Kanalisasi ini berlanjut hingga muara Sagara Anakan di
laut, disamping dilakukan pula pendalaman perairan di daerah Palawangan.
• Pembuatan sodetan Citanduy melalui Teluk Nusawere tidak akan berumur panjang, hal ini dikarenakan Teluk
Nusawere saat ini berfungsi sebagai sedimen trap bagi muntahan sedimen dasar (pasir) di Pelawangan akibat
imbuhan arus memanjang pantai ke arah barat.
• Tindakan pengamanan hulu harus dilakukan sehingga terjadi zero washload, dengan demikian kondisi ekosistem hidrobio- fisika estuari payau Sagara Anakan secara berangsur akan pulih kembali.
• Dalam rangka pembangunan wilayah Sagara Anakan hendaknya diterapkan prinsip pembangunan yang berkelanjutan yang dititikberatkan kepada keseimbangan dan keserasian antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Rasa saling ketegantungan antara kawasan hulu-hilir, darat-laut dan antar wilayah
perlu terus ditumbuh kembangkan. Prinsip empati dan solidaritas bersama untuk kesetaraan hak dan kewajiban
dalam prikehidupan masyarakat harus ditumbuh kembangkan dengan stakeholder sebagai agennya.
Leave a comment