Penulis Artikel Puslitbang Geologi Kelautan :
Subaktian Lubis (scuba diver POSSI Jawa Barat)
M. Salahuddin (penyelidik bumi PPPGL)
Letak Cenote Angelita
Lokasi Cenote Angelita yang menghadap ke laut Karibia dan berjarak sekitar 12 Km dari pesisir Laut Karibia, berada sekitar 17 Km disebelah selatan kota Talum, di pantai timur semenanjung Yukatan, Meksiko, (Gambar 1). Cenote Angelita terletak pada hutan tropis yang banyak ditumbuhi semak-semak merambat, epifit (bromeliads), angrek, dan bunga tillandisias, palm, copal (kemenyan) dan ficus, sedangkan binatang yang ditemukan di hutan ini terdiri dari jaguar, tejons (coati), peccaries, tapir, dan sejenis rusa kecil.
Kata "Cenote" berasal dari bahasa suku Indian Maya purba "D'zonot" yang berarti "sebuah lubang/gua bawah tanah yang berair sebagai tempat yang disucikan", sedangkan "Angelita" berarti "malaikat kecil", jadi Cenote Angelita berarti "Goa Suci Malaikat Kecil". Istilah Cenote (natural sink hole) dimaksudkan sebagai goa-goa bawah tanah yang berjumlah ribuan di semenanjung Yucatan, Mexico. Formasi goa-goa bawah tanah ini terhubung dengan laut Karibia melalui sistem hidrogeologi kawasan gamping yang disebut karst. Terbentuknya cenote ini dipengaruhi oleh beberapa kejadian geologi dan perubahan iklim global masa lalu.
Gambar 1. Lokasi cenote Angelita di kawasan pesisir pantai barat semenanjung Yukatan, Meksiko.
Pemakaian istilah Cenote ini digunakan juga di Australia dan Cuba untuk lubang-lubang vertikal (sinkhole) yang terbentuk di kawasan karst. Gambar 2 memperlihatkan mulut atau lubang cenote akibat runtuhnya atap goa gamping sehingga membentuk lubang dengan diameter yang tergantung dari aktifitas runtuhan dinding goa. Lubang cenot ini banyak dijumpai di semenanjung Yukatan dengan jumlah lebih dari 2.500 cenote.
Gambar 2. Lubang atau mulut cenote yang terbentuk akibat runtuhnya atap goa
(sumber: www.todotulum.com)
Proses Pembentukkan Cenote Angelita
Semenanjung Yukatan-Mexico sebelum zaman Cretacious (Karbon) merupakan laut dangkal dimana tumbuh terumbu koral hingga mencapai ketebalan 1300 meter. Pada zaman Tersier terbentuk lagi terumbu koral yang melampar (limestone platform) dengan ketebalan 1000 meter seperti yang terdapat sekarang di semenanjung Yukatan. Pengangkatan yang terjadi pada kala Pliocene membentuk daratan lamparan terumbu koral menjadi daratan batuan gamping semenanjung Yukatan. Tingginya kandungan carbon dioksida yang terdapat di atmosfer pada saat itu, menghasilkan hujan asam, sehingga air hujan yang sampai pada lamparan gamping ini mempercepat pelarutan batuan gamping membentuk lubang-lubang infiltrasi. Formasi Carrillo Puerto yang berumur Miocene-Pliocene (23,8 - 1,8) juta tahun yang lalu tersingkap dari batuan gamping di semenanjung Yukatan, sedangkan di sepanjang pantai semenanjung Yukatan ditemukan endapan Quarter yang berumur lebih muda.
Proses mengalirnya air hujan melalui lubang infiltrasi mengawali pembentukan sistem sungai dan goa bawah tanah dan hampir sebagian besar air hujan meresap ke dalam tanah sehingga tidak ditemukan adanya sungai berair di daratan semenanjung Yukatan. Sebagian kecil air hujan yang mengalir di permukaan hanya sebagai aliran permukaan (runoff).
Pada zaman interglasisasi terjadi fluktuasi permukaan air laut akibat proses pembekuan dan pencairan gunung-gunung es di kutub. Perioda pasca glasiasi terjadi penurunan muka laut yang cukup signifikan akibat terjadi aliran masa air laut besar-besaran ke kutub-kutub bumi yang membentuk gunung-gunung es. Peristiwa alam inilah yang menyebabkan sistem sungai bawah tanah menjadi kering membentuk goa-goa kering.
Pertumbuhan goa-goa gamping ini membentuk sistem karst gampingangampingan (kapur) lengkap dengan ornamen karst yang unik yaitu stalaktit, stalagmit yang tersambung, tirai, teras, dan tiang (Gambar 3 dan Gambar 4). Selain itu, proses pelarutan jangka panjang pada dinding-dinding goa menyebabkan goa bawah tanah ini semakin lebar dan panjang. Kawasan karst lazimnya terbentuk pada formasi batu gamping yang telah mengalami proses pelarutan, kemudian berkembang menjadi suatu bentang alam yang khas yaitu relief, drainage, dan tingkat pelarutan gamping (istilah karst berasal dari bahasa Jerman yang diperkenalkan oleh Cvijic pada tahun 1850).
Gambar 3. Ornamen karst yang unik dan umum dijumpai di dalam goa-goa karst (Hamblin, 1978).
Gambar 4. Ciri khas terbentuknya goa karst yang komplit akibat proses hidrogeologi
sumber: www.speleologyind.com).
Pada kala Kuarter air laut di seluruh bumi naik kembali karena terjadi pencairan es di kutub, sehingga permukaan air laut di Karibia juga mengalami kenaikkan. Akibatnya terjadi intrusi air laut yang merembes ke daratan sekaligus mengisi goa-goa karst ini dengan air asin. Kejadian ini bersamaan juga dengan air hujan yang merembes atau infiltrasi ke dalam tanah yang bergerak turun dengan kecepatan 1 - 1.000 m per tahun. Terbentuknya lubang Cenote ini adalah akibat runtuhnya bagian atap goa sehingga rembesan air hujan tadi bergerak turun jauh lebih cepat mencapai 10.000 meter per hari.
Menurut Priantono Astjario (2010), ahli geologi marin dan karst, sekitar 18.000-10.000 tahun yang lalu (Holocene), permukaan air laut mulai naik lagi sekitar 96-120 m sehingga semenanjung Yukatan naik kepermukaan dengan ketinggian sekitar 3-16 meter diatas muka laut sampai sekarang. Perpaduan kedua sumber air tawar dan air asin inilah yang mencirikan terbentuknya sistem cenote (sinkhole) yang unik terutama dalam sistem pengelompokkan ilmu goa (speleologi) yang selanjutnya dikenal sebagai goa anchialine yang berciri adanya campuran lapisan air asin dan air tawar.
Curah hujan yang merupakan pemasok utama air tawar mencapai 1.500 mm (1500 liter per meter persegi) per tahun menyebabkan sistem hidrogeologi goa ini mengalami dua fenomena aliran air yaitu air tawar (infiltrasi air hujan) dan air asin (intrusi air laut). Kedua fenomena aliran air ini merupakan faktor dominan dalam pembentukan goa-goa bawah tanah sehingga lambat laun semenanjung Yukatan ini berubah menjadi kawasan karst. Umumnya air tawar pada aliran air ini bukan merupakan air tawar murni tetapi lebih mendekati air payau (brackish water) dengan kadar chlorida sekitar 2 ppt, sedangkan air asin yang berasal dari intrusi air laut berkisar antara 14-35 ppt.
Berbeda dengan proses pembentukan kawasan karst di Indonesia yang lebih dipengaruhi oleh pengangkatan tektonik (lifting) yang membentuk busur gunung api, sehingga umumnya kawasan karst berada jauh lebih tinggi diatas permukaan laut. Oleh sebab itu, jenis goa seperti cenote ini jarang sekali terjadi di pantai-pantai Indonesia, karena intrusi air laut tidak dapat naik sampai ke daratan
Bentuk Cenote Angelita
Berdasarkan jejak-jejak yang ditemukan di dalam beberapa goa di kawasan karst, seperti coretan-coretan dinding goa, perkakas tajam terbuat dari batu obsidian, tulang-tulang binatang seperti tulang gajah mammuth, bahkan tulang manusia dan beberapa perangkat artifak purbakala, maka diduga bahwa goa-goa ini pernah dihuni atau dimanfaatkan manusia purba. Hasil pentarikhan umur artifak berdasarkan carbon dating diperkirakan berumur 18.000 tahun yang lalu. Selain itu, beberapa ahli arkeologi juga menduga bahwa goa kering pada saat itu digunakan juga untuk berbagai upacara korban keagamaan, sehingga diyakini sebagai goa suci. Dugaan lain menyebutkan bahwa goa-goa tersebut juga pernah digunakan sebagai tempat tinggal atau perlindungan suku Maya purba dan sebagai lorong tembus transportasi bawah tanah pada saat goa-goa itu masih kering. Di semenanjung Yukatan yang berciri bertopografi karst, tidak dijumpai adanya sungai, kecuali creek (sungai kering), sehingga air tawar yang terdapat di dalam cenote ini adalah murni berasal dari air hujan yang merembes melalui infiltrasi lubang pori batuan gamping.
Cenote Angelita adalah salah satu lubang goa berair terletak di tengah hutan tropis sekitar 17 kilometer dari kota Tulum dan berjarak 12 Km dari laut Karibia. Lubang permukaan (mulut) Cenote Angelita terbentuk akibat runtuhnya atap goa yang berdiameter sekitar 30 meter. Kedalaman maksimum cenote mencapai 60 meter. Cenote ini berada di wilayah hutan lebat yang memiliki keanekaragaman jenis flora dan fauna yang cukup komplit dan sering dijumpai ikut adanya potongan-potongan batang, dahan dan ranting yang jatuh dan terbenam ke dasar goa. Pada kedalaman 30 meter jarak pandang tertahan oleh adanya lapisan keruh berwarna kecoklatan dengan ketebalan sekitar 1 meter. Dibawah lapisan keruh ini hampir tidak ada sinar yang tembus sehingga merupakan kolom air yang gelap gulita (Gambar 5). Lapisan keruh coklat ini dikenal sebagai haloklin (halocline) yang menyerupai kabut atau awan berbentuk cair yang mengandung hidrogen sulfida (bukan dalam bentuk gas). Belum ada laporan yang menyebutkan bahwa ada penyelam yang mengalami gangguan keracunan atau kecelakaan oleh lapisan ini. Di bawah lapisan ditemukan kembali air asin yang bertemperatur lebih hangat sekitar 2oC dari pada lapisan diatas haloklin ini.
Gambar 5. Penampang cenote Angelita yang memperlihatkan posisi dan kedalaman lapisan haloklin di dalam cenote.
dalam memberikan penjelasan tentang fenomena alam yang terjadi pada Cenote Angelita ini, bahkan menyebutkan seolah-olah ditemukan adanya sungai bawah air. Pada kenyataannya lapisan yang nampak sebagai sungai ini adalah lapisan haloklin di dasar lubang Cenote yang membatasi air tawar di atasnya dan air asin di bawahnya.
Fenomena serupa juga ditemukan pada cenote-cenote lainnya, seperti di Cenote Siete atau yang dikenal sebagai Deep Blue yang terletak 11 Km sebelah barat Puerto Morelos. Kedalaman total cenote ini sekitar 54 meter. Pada kedalaman 30 meter juga ditemukan lapisan haloklin hidrogen sulfida dalam konsentrasi yang jauh lebih tinggi sehingga dapat melepuhkan (membakar) kulit manusia. Oleh sebab itu, cenote ini berbahaya sebagai objek penyelaman tanpa dilengkapi dengan peralatan pelindung yang mamadai.
Karakter Lapisan Haloklin
Ketika air tawar bertemu dengan air asin tidak langsung bercampur karena tergantung dari perbedaan densitas dari mineral yang terlarut dan temperatur antara kedua lapisan air tersebut. Arah sistem aliran air tawar adalah dari darat ke laut sedangkan aliran air asin mengalir dari laut Karibia ke daratan karena umumnya cenote ini letaknya berdekatan dengan laut.
Keunikan yang terjadi pada proses terbentuknya haloklin adalah bahwa air tawar ternyata tidak langsung bercampur dengan air asin tetapi dibatasi oleh lapisan pemisah yang disebut haloklin (halocline). Haloklin dalam istilah Oceanografi berarti suatu lapisan di dalam laut di mana kadar garam (salinitas) berubah dengan cepat terhadap perubahan kedalaman laut. Perubahan kadar garam ini akan mempengaruhi densitas air sehingga lapisan ini kemudian berfungsi sebagai dinding pemisah antara air asin dan air tawar. Adalah sesuatu yang menakjubkan jika dapat melihat efek difraksi dari atas atau bawah lapisan haloklin, karena akan tampak pancaran sinar multi warna yang menakjubkan, seolah-olah sinar direfraksikan oleh medium lainnya.
Umumnya air tawar yang berasal dari infiltrasi ini membentuk lensa-lensa air tawar, karena percampuran dengan air asin tertahan oleh haloklin yang stabil (Gambar 6). Namun demikian, level haloklin ini tidak stabil sempurna melainkan dapat berubah sekitar 4-50 cm (tergantung jaraknya dari pantai) akibat pengaruh pasang surut laut yang terjadi di laut Karibia.
Namun demikian, adanya perubahan pasang surut ini tidak serta merta merubah formasi lapisan haloklin, kecuali munculnya badai tropis atau hurricane yang terjadi setiap tahun dapat merubah fluktuasi posisi haloklin sampai 1 meter. Selain itu, kestabilan lapisan haloklin ini akan terganggu jika terjadi hujan lebat yang cukup lama sehingga menambah pasokan air tawar secara berlebihan yang dapat memecah formasi lensa air tawar.
Hasil penelitian Donald K. Stoessell (1995) menyatakan bahwa walaupun karakter haloklin berubah jika terjadi percampuran akibat bertambahnya volum air tawar atau air asin secara berlebihan, maka setelah tiga hari ternyata kestabilan haloklin ini akan terbentuk kembali. Demikian juga halnya dengan ketebalan haloklin, ternyata jika ketebalannya mencapai sekitar 1 meter maka dalam lapisan haloklin itu sendiri akan terdegradasi menjadi beberapa lapisan sub-haloklin atau multilayer. Hal ini dapat diamati secara nyata menggunakan peralatan refraktometer khusus.
Gambar 6. Terbentuknya fenomena lapisan haloklin oleh sistem aliran air tawar dan aliran asin (Stoessell, 1995)
Jika tidak terjadi proses kimiawi dan biologi bakteri maka batas antara kedua lapisan aliran air ini sangat tipis dan sulit dikenali secara visual. Namun jika dilihat dari bagian samping maka akan terlihat efek difraksi (gambar 7). Jika sinar matahari masuk melalui mulut cenote maka difraksi ini akan sangat indah seperti berkas sinar yang melewati sebuah prisma raksasa, kadang-kadang blur warna-warni, sehingga dapat menimbulkan imaginasi bagi yang merasakannya. Tidak jarang akibat fatamorgana sinar refraksi dari lapisan haloklin ini menyebabkan para penyelam sering keliru memperkirakan kedalaman dasar cenote.
Gambar 7. Contoh terjadinya difraksi sinar matahari melalui mulut cenote oleh lapisan haloklin (www.todotulum.com).
Lain halnya dengan proses terbentuknya haloklin di dalam Cenote Angelita di mana lapisan haloklin telah mangalami proses kimia oleh aktifitas barteria sehingga menghasilkan lapisan hidrogen sulfida dengan konsentrasi antara 0,06-4,0 mmolal. Berdasarkan penguraian secara kimia, tingginya konsentrasi hidrogen sulfida ini tergantung dari rendahnya konsentrasi sulfat, tinginya alkalinitas, rendahnya pH, dan karakter isotop sulfur itu sendiri yang diurai oleh aktifitas bakteri oksidasi sulfide (Gambar 8).
Haloklin dapat pula berfungsi sebagai perangkap hidrogen sulfida sehingga menjadi lapisan yang stabil menahan lapisan dibawahnya yang bersifat anoxic (tak beroksigen). Kestabilan ini akan terganggu jika terjadi proses oksidasi menjadi asam sulfur kembali akibat berinteraksi dengan lapisan beroksigen dari air tawar di atasnya dan diuraikan oleh bakteri oksidan sulfida. Oleh sebab itulah, lapisan haloklin yang dianggap misterius oleh beberapa kalangan, sebenarnya merupakan fenomena alam kawasan karst yang wajar, namun unik karena sangat jarang dijumpai di tempat lainnya di dunia ini.
Gambar 8. Lapisan haloklin menyerupai lapisan berkabut mengandung H2S yang terdapat di cenote Angelita pada kedalaman 30 m (sumber : www.imgfave.com.view)
Menurut Kresna Tridewi (2010), seorang ahli palaeontologi foram Balitbang ESDM, menyatakan bahwa adanya bahan organik berupa potongan batang, dahan, ranting dan daun tumbuhan yang tenggelam di dasar cenote juga memperkuat dugaan terbentuknya lingkungan ideal bagi proses reduksi sulfat. Demikian pula kestabilan yang terjadi pada haloklin yang nampak sebagai batas nyata yang memisahkan lapisan air tawar dengan air asin di bawahnya, sebenarnya merupakan proses kondisi keseimbangan rasio energi. Dalam hal ini, energi yang diperlukan fluida dengan salinitas lebih pekat untuk untuk naik menembus fluida yang kurang pekat, lebih kecil dari energi energi pembentukan reduksi sulfat yang membentuk hidrogen sulfida oleh bakteri.
Hasil penelitian lainnya menyatakan bahwa kestabilan haloklin ini juga berkaitan dengan ditemukannya lapisan termoklin (perubahan temperatur air yang signifikan terhadap kedalaman) pada bagian bawah haloklin. Secara logika temperatur air asin dibawah lapisan ini seharusnya memiliki temperatur yang lebih dingin karena sinar yang menembus haloklin akan diabsorbsi sehinga mengurangi temperatur air asin di bawahnya. Namun demikian, ternyata air asin ini memiliki temperatur yang lebih hangat dibandingkan temperatur air diatasnya sehingga terjadi temperatur inversi. Hal ini dimungkinkan karena terjadinya proses photosinthesis oksidasi sulfida menjadi sulfat oleh bakteri anaerobic. Proses photosintesis pada air asin ini menimbulkan kenaikan temperatur sehingga lebih hangat naik sekitar 2oC. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kestabilan haloklin ini ditunjang pula oleh terbentuknya lapisan termoklin yang terjadi secara bersamaan di bawah haloklin (gambar 9).
Gambar 9. Profil temperatur inversi (termoklin) yang terjadi dibawah lapisan haloklin di cenote Angelita (Barton dan Nothup, 2007).
Berdasarkan penjelasan hasil penelitian aktifitas mikrobiologis oleh para ahli geologi karst, diduga kuat bahwa H2S yang terperangkap pada haloklin ini bukan berasal dari proses degradasi atau pembusukan bahan organik dari potongan tumbuhan yang terkumpul di dasar cenote, ataupun berasal dari proses geokimia pengaruh geothermal atau batuan magma (seperti yang dilansir beberapa media), melainkan murni dari aktifitas siklus bakteri pada sistem goa karst.
Hazel A. Barton dan Diana Nothup (2007) dua ahli mikrobiologi memperkuat dugaan terjadinya proses aktifitas biologi dengan ditemukannya bakteri yang umum ditemukan pada goa sulfur yaitu epsilonproteobacteria yang memproduksi asam sulfur sebagai bahan pelarut batuan gamping dan umumnya menghasilkan sejenis endapan "moonmilk" semacam koloid yang mengapung di dalam air . Endapan semacam ini merupakan campuran endapan light sulfur dan gipsum yang berbutir sangat halus jika bercampur dengan air asin akan membentuk dissolved solid atau koloid yang menyebabkan warna air menjadi keruh kecoklatan. Kadar dissolved solid yang ditemukan pada haloklin ini mencapai 964 mg/liter, cukup untuk membentuk lapisan yang tidak tembus pandang.
Fenomena perubahan warna air oleh bakteri pengurai asam ini juga banyak terjadi di dunia, salah satu yang unik dapat dilihat di Danau Kawah Kelimutu, Flores, Indonesia. Ketiga danau kawah yang letaknya berdekatan ini mempunyai warna air danau yang berlainan, tergantung dari pengaruh jenis rembesan gas yang mempengaruhinya. Air danau yang dominan mengandung Fe-sulfat ini dapat terurai menjadi berbagai komposisi ferrihidroksida lainnya yang menghasilkan koloid yang diendapkan di dasar kawah dengan warna-warna tertentu tergantung kandungan dan jenis mineral pembentuknya.
Lapisan Haloklin Bukan Sungai Bawah Air
Deskripsi video tentang lapisan haloklin yang dibuat oleh Anatoly Beloschin, seorang fotografer profesional asal Rusia beberapa tahun yang lalu mengatakan: "We are 30 meters deep, fresh water, then 60 meters deep - salty water and under me I see a river, island and fallen leaves.." (Pada kedalaman 30 meter, air tawar, lalu pada kedalaman 60 meter air asin, dan di bawah, saya melihat sebuah sungai, pulau dan serakan daun-daun yang jatuh). Jika dideskripsikan lebih rinci maka pernyataan ini memberikan gambaran bahwa air dalam goa ini terdiri dari 3 lapisan air yaitu air asin atau payau di permukaan, air tawar sampai kedalaman 30 meter dan air asin lagi sampai ke dasar cenote.
Sebuah sungai yang dideskripsikan oleh Beloschin ditemukan pada kedalaman 30 meter sebenarnya merupakan lapisan haloklin setebal 1 meter yang nampak seolah-olah potongan sungai bawah air, padahal dalam kenyataannya merupakan lapisan pembatas antara air tawar diatasnya dan air asin di bawahnya (gambar 10). Jadi, walaupun disebutkan ditemukan adanya air asin maka tidak berarti lokasi cenote ini berada di laut. Berdasarkan uraian ciri-ciri fisik yang ditemukan, maka lapisan haloklin yang menyerupai sungai ini secara nyata berada di dalam sebuah lubang goa karst yaitu cenote Angelita dan bukan di laut lepas.
Gambar 10. Kenampakan yang menyerupai permukaan sungai bawah air, potongan batang kayu, dan serakan daun mati yang diabadikan dalam foto di dasar cenote Angelita oleh Beloschin.
(sumber: www.cenoteangelita.com)
Hal lain yang meragukan istilah sungai dan pulau dalam deskripsi Beloschin ini adalah definisi sungai itu sendiri, yang memerlukan kejelasan adanya arah hulu dan hilir serta pola alirannya. Demikian pula pulau yang dimaksud dalam deskripsi adalah suatu tinggian morfologi di dasar cenote yang kebetulan posisinya lebih tinggi dari lapisan haloklin.
Lapisan hidrogen sulfida (H2S) yang merupakan lapisan pembatas air tawar dan air asin di dasar cenote ini secara dominan terbentuk dari aktifitas bakteria dan proses degradasi atau pelapukan zat organik dari pohon-pohon atau organisme yang membusuk di dasar cenote. Hal yang sama juga banyak dijumpai di rawa-rawa di sekitar muara sungai di Indonesia, banyak ditemukan rembesan gelembung udara di rawa-rawa yang berbau khas hidrogen sulfida, yang kadang-kadang berasosiasi dengan munculnya gas methan (CH4) yang dikenal sebagai gas biogenik.
Adanya anggapan bahwa pada dasar cenote ini banyak ditumbuhi tumbuhan tropis seperti yang terlihat pada berberapa foto bawah air, masih sulit untuk diterima secara logika karena pohon-pohon yang tumbuh di dasar danau akan memerlukan sinar matahari dan oksigen untuk proses fotosintesa sebagai tumbuhan hidup. Jadi pepohonan dan daun yang nampak di dasar cenote ini hanya potongan batang, dahan, ranting dan daun mati yang jatuh dan tenggelam ke dasar cenote dan berasal dari tumbuhan hutan di atasnya. Kalaupun ditemukan tumbuhan hidup maka tumbuhan itu merupakan tumbuhan air yang menempel pada dinding-dinding goa.
Haloklin Perairan Pantai Indonesia
Fenomena adanya lapisan air tawar yang mengalir di dalam laut banyak dijumpai di kawasan pantai dan pesisir Indonesia, seperti di perairan Kangean dan Madura. Di pantai Pemaron, Bali bagian utara juga banyak ditemukan mata air tawar di pantai dan kemunculannya terlihat pada saat air laut surut. Biasanya air tawar ini digunakan penduduk setempat sebagai air suci untuk upacara keagamaan.
Di perairan kepulauan Seribu, perairan sebelah utara Jakarta juga banyak dijumpai fenomena munculnya aliran air yang relatif tawar ke permukaan laut. Secara hidrogeologi keberadaan aliran air tawar ini adalah aliran air tanah (groundwater) yang berasal dari daratan dan mengalir sebagai aliran perkolasi yang muncul di dasar laut.
Jemmi Gojali, instrukrur selam Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia (POSSI) pemegang sertifikat B dua-Star CMAS, menjelaskan bahwa dalam beberapa penyelaman dropoff dive pernah menemukan semacam lapisan haloklin, yaitu di Teluk Ambon, perairan Sulawesi, kepulauan Seribu dan perairan Lampung Selatan, dan beberapa perairan pantai Indonesia bagian timur, dicirikan oleh perbedaan salinitas dan temperatur yang cukup signifikan (gambar 11 dan gambar 12). Demikian pula perairan pantai di muara-muara sungai terjal sering mengalirkan air tawar yang menyusup di bawah air laut. Namun karena efek buoyancy (apungan) air tawar yang mempunyai densitas lebih rendah dari air laut, akan secara spontan air tawar ini naik ke permukaan dan bercampur dengan air laut.
Air laut di wilayah katulistiwa umumnya bertemperatur rata-rata 25o-28oC di permukaan secara perlahan turun terhadap kedalaman, namun pada kedalaman antara 10-20 meter sering dirasakan adanya perubahan temperatur yang lebih dingin yang diperkirakan berasal dari air tawar yang mengalir dari daratan. Namun karena percampuran air tawar dan asin ini terganggu oleh arus laut, maka secara spontan terjadi percampuran atau dispersi langsung dengan air asin sehingga tidak sempat terbentuk lapisan termoklin.
Gambar 11. Instruktur selam POSSI Jemmi Godjali yang telah mempelopori diterapkannya teori dan praktek selam sebagai salah satu mata kuliah wajib di perguruan tinggi yang memiliki program studi Oceanografi (koleksi PPPGL, 2010)
Gambar 12. Penyelam PPPGL yang mengembangkan scientific diving untuk penelitian geologi dasar laut (koleksi PPPGL, 2009)
Demkian pula halnya, laporan Yusuf Adam, seorang penyelam saintifik terumbu koral Puslitbang Geologi Kelautan (PPPGL) dan Geoteknologi LIPI yang sering turut aktif dalam penelitian dan pemetaan terumbu koral di berbagai kawasan Indonesia, mengemukakan adanya lapisan air tawar di permukaan laut di perairan antara Kangean dan Madura. Munculnya air tawar ke permukaan laut ini merupakan fenomena hidrogeologi yang umum dan banyak dijumpai di kawasan pantai gampingan yang berciri karst. Air tawar yang muncul ke permukaan laut ini banyak dimanfaatkan para nelayan untuk mengambil air tawar di tengah laut. Kejadian serupa juga banyak ditemukan pada pantai-pantai berciri karst seperti di pantai selatan Pacitan Jawa Timur dan pantai selatan gunung Kidul.
Di perairan pulau Klagian, Lampung Selatan, juga sering diumpai adanya lapisan ait tawar keruh yang berada pada kedalaman antara 5-9 meter, terutama sesaat setelah hujan lebat. Air hujan yang mengalir sebagai aliran permukaan (runoff) dari daratan yang terjal di pulau Klagian ini mengalir deras menyusur dan menyusup ke bagian bawah air laut. Aliran air runoff ini memiliki tekana aliran yang cukup kuat sehingga mengalir menyerupai sungai bawah laut. Para penyelam di kawasan perairan ini sering menemukan pemandangan seolah-olah ada sungai air tawar berwarna kecoklatan (mengandung partikel lempungan) yang mengalir di dalam laut dengan ketebalan antara 2-4 meter.
(Disarikan dari berbagai sumber pustaka)
Comments (1)
APA APA pun ...ianya sungai atau tidak,Sudah terbukti surah al Quran all rahman yg menyatakan bahawa air masin Dan tawar tidak bisa bercampur.lautan bertemu masing masing ada sempadannya.tidak dapat merempuh sempadan.
Leave a comment