Penulis: Subaktian Lubis, Walaupun telah 6 tahun lebih yaitu sejak 29 Mei 2006 kemunculan semburan lumpur Sidoarjo atau lumpur Lapindo di desa Ronokenongo dan Siring,Kec.Porong,Sidoarjo, namun masih tetap menyisakan teka-teki yang belum dipahami sepenuhnya. Beberapa kali penelitian lanjutan telah dilakukan baik berdasarkan aplikasi metoda geodesi, geofisika atau geologi bawah permukaan, namun juga masih belum cukup memuaskan menjawab teka-teki ini. Beberapa kali seminar nasional maupun yang berskala internasional juga telah dilaksanakan, terutama seminar yang secara khusus dilaksanakan tgl 25-26 Mei 2011 dan dihadiri sedikitnya oleh para ahli geo-sciences dari 11 negara (sekaligus memperingati 5 tahun semburan lumpur Lapindo), nampaknya masih belum juga diperoleh pemahaman yang seragam.
Ekskursi para peserta seminar internasional ke lokasi lumpur Lapindo tgl 25-26 Mei 2011.
Kondisi luapan lumpur pada akhir tahun 2012 memperlihatkan gejala aktifitas yang cenderung semakin lemah dicirikan oleh semakin mengecilnya volum material yang dikeluarkan. Jenis material yang dikeluarkan umumnya lebih dominan berupa air panas dibandingkan volum lumpurnya. Catatan petugas pengamat dari Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo pada bulan Mei 2012 volum aliran lumpur ini hanya 10.000 m3 per hari, sedangkan pengamatan pada bulan November 2012 berdasarkan debit air yang mengisi celah-celah retakan lumpur ditaksir hanya sekitar 2.000 m3 perhari.
Beberapa bulan terakhir ini, kegiatan untuk mengalirkan aliran air dan lumpur ke Kali Porong telah dihentikan karena berbagai alasan teknis dan adanya penolakan masyarakat setempat yang masih menuntut ganti rugi kepemilikan lahan dan bangunan yang masih tersendat dan belum ada kepastian penyelesaiannya.
Sejak awal musim hujan yang terjadi pada bulan November 2012, intensitas air hujan yang turun semakin menggenangi kolam-kolam di dalam tangggul penahan aliran. Di bagian selatan tanggul penahan ini, genangan air hujan telah mencapai ketinggian 3 meter lebih atau hanya sekitar 3 meter di bawah bibir tanggul. Jika upaya untuk mengalirkan air genangan ini tidak segera dilakukan maka dikhawatirkan tanggul penahan ini akan jebol dan airnya akan mengenangi desa di sekitarnya yang elevasinya lebih rendah, seperti desa Mindi yang masih berpenghuni. Aliran akan menggelontor sebagai banjir bandang karena volumnya yang sangat besar, sehingga akan menimbulkan bencana baru bagi kawasan pemukiman yang lebih rendah letaknya.
Genangan air hujan yang terakumulasi di dalam tanggul penahan yang rawan rembes dan jebol.
Kesulitan lain yang menjadi kendala teknik adalah adanya tanggul buatan di sepanjang tepi Kali porong sehingga aliran lumpur tidak bisa serta merta dialirkan ke Kali Porong karena harus dipompakan lebih lebih dahulu melintas tanggul tersebut. Oleh sebab itulah mengalirkan air dan lumpur genangan ini tidak mudah apalagi hanya mengandalkan efek aliran gravitasi saja.
Pertanyaan yang masih belum terjawab sampai saat ini adalah: “Bagaimana penanganan lumpur Lapindo ini pada masa yang akan datang?”, mengingat bahwa lumpur yang berada di dalam tanggul penahan ini bukanlah jenis tanah daratan karena sifat keasaman dan salinitas yang masih diatas normal. Pengalaman di negara Kolumbia dan Rusia menyatakan bahwa menormalkan jenis endapan lumpur semacam ini untuk dijadikan lahan pertanian memerlukan waktu pemulihan sekitar 25-30 tahun. Artinya, lahan lumpur ini sulit untuk ditanami tumbuhan daratan, kalaupun ada jenis tanaman yang tumbuh, maka akan tumbuh kerdil karena tidak cocok jenis tanahnya. Dengan demikian, untuk menjawab pertanyaan: “Mau di-apa-kan lumpur Lapindo ini selanjutnya?”, masih memerlukan kajian yang komprehensif dari berbagai aspek yang tentu saja tidak sederhana. Jika ditetapkan bahwa kawasan ini ditinggalkan sebagaimana adanya sebagai kawasan bencana, maka masih meninggalkan resiko lain karena badan tanggul penahan ini dibangun oleh material tanah urug (soil) yang rawan rembesan dan diperkirakan tidak cukup kuat menahan beban fluida air dan lumpur di dalamnya.
Pemantauan aliran lumpur yang telah dialirkan ke Kali Porong masih tetap dilakukan oleh BPLS, perguruan tinggi dan institusi lain yang terkait, terutama trayektori aliran lumpur dan lokasi pengendapannya. Mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Geologi Kelautan (PPPGL), Kementerian ESDM, sejak tahun 2008 dari sejumlah sampel yang diambil dari dasar Kali Porong memperlihatkan bahwa hanya endapan fraksi halus saja yang sampai ke Selat Madura. Fraksi kasar yang berukuran pasir kasar – kerikilan menyerupai bentuk “pellet” bundar pipih, sebagian besar dijumpai di bagian hulu mulai darispillway sampai kira-kira 14 km dari pipa pembuangan. Umumnya endapan butiran kasar ini mengisi celah-celah dasar sungai. Dari beberapa sampel sedimen yang diambil di sekitar muara Kali Porong dan Selat Madura memperlihatkan bahwa kedua jenis lumpur ini yang hampir sama sifat fisikanya sehingga sulit untuk dibedakan secara makroskopis. Namun demikian, analisa mineralogi secara mikroskopis memperlihatkan bahwa fraksi lumpur Lapindo yang ditemukan di bagian hilir ini sangat kecil fraksinya dibandingkan dengan lumpur alluvium daratan yang terangkut oleh aliran Kali Porong.
Hasil analisa mineralogi secara microskopis menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) memperlihatkan bahwa butiran lumpur Lapindo berukuran kerikilan berdiameter 20 mm sampai butiran paling halus berdiameter 2,5 mikron dominan berkomposisi smectite, sedangkan lumpur alluvial Kali Porong dan lumpur Selat Madura berkomposisi montmorilonite, kaolinite, dan illite (Hernawan dkk, 2009). Pada sampel yang diambil di dasar laut Selat Madura tidak ditemukan adanya butiran smectite sehingga dapat disimpulkan bahwa butiran halus lumpur Lapindo tidak terbawa arus sampai ke Selat Madura (sekitar 22 km dari pusat semburan) kecuali komponen material suspensi (suspended material). Dengan demikian kekhawatiran masyarakat bahwa lumpur Lapindo yang dialirkan ke Kali Porong ini akan membawa dampak negatif terhadap lingkungan di sepanjang Kali Porong dan Selat Madura masih belum memperlihatkan gejala yang signifikan.
Penelitian sebaran lumpur Lapindo di sepanjang Kali Porong dan Selat Madura yang dilakukan oleh Puslitbang Geologi Kelautan (PPPGL) pada bulan April 2008.
Fraksi kasar (pellet) lumpur Lapindo yang diambil dari dasar Kali Porong sekitar 10 km dari spillway
Acara serah terima perahu karet (rubber boat) bermotor dari Kepala Puslitbang Geologi Kelautan (PPPGL), DR. Ir. Susilohadi kepada Wakil Kepala BPLS Prof. DR. Ir. Hardi Prasetyo pada tgl 9 November 2012 yang lalu sebagai bantuan teknis fasilitas wahana air untuk pemantauan sebaran lumpur Lapindo di sepanjang Kali Porong.
Leave a comment