Potensi kekayaan dasar laut yang tersimpan dalam perairan Indonesia diakui atau tidak telah mengundang perhatian institusi international, terbukti dengan terlaksananya Ekspedisi Bandamin I yang merupakan kerjasama riset geologi kelautan terselenggara atas kerjasama University Free, Berlin dengan beberapa instansi terkait di Indonesia, seperti Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Puslitbang Geologi Kelautan (PPPGL) Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral serta institusi Perguruan tinggi, seperti ITB, Unpad dan Trisakti yang berlangsung antara 12 November hingga 5 Desember 2001. Dari hasil ekspedisi Bandamin I (2001 - pada saat tulisan ini dibuat telah selesai dilakukan hingga ekspedisi Bandamin III) yang kegiatanya berupa survei geologi kelautan dengan tujuan mencari endapan hidrotermal bawah laut antara pemerintah Federal Jerman dan Pemerintah Indonesia dengan menggunakan wahana survey kapal Baruna Jaya (BJ) IV milik BPPT. Survei ini diikuti pula oleh Hydromod dan Elac - yang mewakili pihak industri dan penyedia jasa survey Jerman.
Potensi kekayaan dasar laut yang tersimpan dalam perairan Indonesia diakui atau tidak telah mengundang perhatian institusi international, terbukti dengan terlaksananya Ekspedisi Bandamin I yang merupakan kerjasama riset geologi kelautan terselenggara atas kerjasama University Free, Berlin dengan beberapa instansi terkait di Indonesia, seperti Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Puslitbang Geologi Kelautan (PPPGL) Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral serta institusi Perguruan tinggi, seperti ITB, Unpad dan Trisakti yang berlangsung antara 12 November hingga 5 Desember 2001. Dari hasil ekspedisi Bandamin I (2001 - pada saat tulisan ini dibuat telah selesai dilakukan hingga ekspedisi Bandamin III) yang kegiatanya berupa survei geologi kelautan dengan tujuan mencari endapan hidrotermal bawah laut antara pemerintah Federal Jerman dan Pemerintah Indonesia dengan menggunakan wahana survey kapal Baruna Jaya (BJ) IV milik BPPT. Survei ini diikuti pula oleh Hydromod dan Elac - yang mewakili pihak industri dan penyedia jasa survey Jerman.
Lokasi survey berada di sekitar perairan Komba, Laut Flores Timur mencakup areal seluas ± 240 km2 atau pada posisi 123°43’12”-123°54’ BT dan 7°56’24”-8°3’36” LS dan perairan selatan Pantar, Laut Timor dengan luas areal ± 30 km2, yang secara geografis berada pada posisi 123°43’12”-123°54’00” BT dan 7°56’24”-8°3’36” LS.
Maksud dari kegiatan survei ini adalah selain melengkapi data dasar geologi dan geofisika kelautan Indonesia Timur yang masih (hingga saat ini) belum begitu banyak tersedia, juga yang terpenting adalah mencoba mengungkap salah satu potensi bawah laut yang dimiliki Indonesia dengan mencari keberadaan gunungapi bawah laut (submarine volcano) yang merupakan salah satu penciri akan adanya proses hidrotermal dengan tujuan mengindentifikasi endapan-endapan mineralisasi yang terbentuk karena kejadian proses di atas melalui pengamatan alterasi secara geokimia pada beberapa contoh batuan hasil dredging.
Kegiatan Survei
Pengukuran kedalaman dasar laut (batimetri) adalah merupakan hal yang sangat penting dalam usaha ‘berburu’ gunung api bawah laut. Karena hasil dari kegiatan ini dapat langsung selain kedalaman dasar laut namun juga bentuk roman dasar laut (morfologi) dengan kenampakan 3 dimensi. Pemetaan batimetri ini menggunakan alat Sea beam 1050 Elac yang merupakan multibeam echosounder system yang memiliki beberapa keunggulan, antara lain selain mampu melakukan pengukuran kedalaman dasar laut (pemeruman) juga sekaligus menghasilkan data side scan, sehingga kenampakan morfologi gunung api bawah laut, seperti punggungan-punggungan dan puncak gunung apinya dapat lebih mudah dikenali karena semua kenampakan tersebut dapat langsung divisualisasikan dalam bentuk 3 dimensi. Namun demikian pemeruman dengan menggunakan single beam 3,5 KHz tetap dilakukan, karena alat ini dapat memberikan informasi ketebalan sediment prmukaan dasar lautnya.
Setelah mengenali medan dan mengetahui lokasi-lokasi yang dianggap merupakan bentukan gunungapi bawah laut dengan dicirikan adanya beberapa anomali seperti lonjakan temperature bawah permukaan laut dan kandungan sulfurnya, dilakukanlah pengambilan contoh batuan maupun sedimen dengan menggunakan metoda pengerukan (dredging) untuk batuan-batuan yang keras dan pemercontoh comot (van veen grab) dan pemercontoh jatuh bebas (gravity corer) untuk contoh-contoh yang lebih lunak (sedimen). Pemercontoh keruk yang digunakan terbuat dari baja dengan kerangka selebar sekitar 1 m, panjang 1,5 m dan tinggi 0,3 m. Total beral alat ini sekitar 500 kg di udara bebas termasuk rantai pemberatnya. Sedangkan pemercontoh comot memiliki ukuran lebar 30 cm, panjang 80 cm dan tinggi 70 cm pada posisi terbuka dengan berat total di udara bebas 60 kg. Yang membedakan penggunaan kedua alat ini, selain tergantung atas tekstur material dasar lautnya juga pada pelaksanaan pengoperasiannya. Apabila pada pemercontoh keruk pengoperasiannya pada saat kapal berjalan, sedangkan pada pengoperasiaan pemercontoh comot dan jatuh bebas, disyaratkan kapal harus benar-benar berhenti Penentuan posisi lokasi-lokasi contoh dan seluruh lintasan pemeruman dilakukan dengan menggunakan Fugro Differensial GPS (dengan datum WGS 1984).
Identifikasi Endapan Hidrotermal
Berdasarkan pemetaan batimetri yang dilakukan di bagian tenggara Gunungapi Komba (Batu Tara) atau di utara P. Lomblen dengan luas area 240 km2 berhasil mengenali dua kenampakan morfologi yang merupakan bagian dari punggungan Komba (Komba ridge); Keduanya terletak di selatan Komba dengan ciri yang sangat berbeda antara satu dengan yang lain. Pada lokasi pertama di bagian baratlaut ditandai dengan adanya puncak gunungapi bawah laut (selanjutnya disebut Abang Komba) dengan kedalaman air 112 m yang selain mengandung batu apung (pumice) juga batuan dengan komposisi basa (mafic) hingga intermediate yang diduga berkaitan erat dengan material pada Gunungapi Komba. Ke arah lebih ke selatan dengan kedalaman 900 m dari muka laut memperlihatkan proses erosi yang kuat telah terjadi pada bagian puncaknya (selanjutnya disebut Ibu Komba) yang tersusun hanya oleh batu apung. Mengenai asal dari batu apung ini sendiri, hingga saat ini masih diperdebatkan, apakah berasal dari Ibu Komba sendiri atau hasil dari gunung api di sekitarnya yang kemudian karena pengaruh oseanografi terbawa arus dan terendapkan di sekitar tempat itu.
Berdasarkan kenampakan morfologi, punggungan-punggungan ini relatif makin tua ke arah selatan, ini berhubungan pula apabila dikaitkan dengan proses tektonik yang mengontrol daerah ini yang merupakan system dari ekstensional propagasi (propagating extentional system) yang didominasi oleh sesar normal dengan kelurusan berarah baratlaut-tenggara dengan panjang punggungan berkisar hingga 55 km.
Pemetaan batimetri yang dilakukan di lokasi ke dua (di selatan P. Pantar) dengan luas cakupan meliputi 30 km2 memperlihatkan adanya bentukan tinggian bawah laut (seamount) dengan arah kelurusan relatif timurlaut-baratdaya dengan bagian puncaknya mencapai hingga 2050 m di bawah muka laut. Sedimen penyusun pada bagian ini umumnya berupa sediment lunak berupa Lumpur yang diduga merupakan hasil produk vulkanik (mud volcano).
Karakteristik Batuan
Batuan-batuan volkanik yang berhasil dikumpulkan (lava dan piroklastik) memiliki komposisi yang berkisara antara basaltic trachyandesites dan trachydacites.
Secara umum, kenampakan contoh yang segar hingga sedikit teralterasi memperlihatkan warna keabuan dan ditandai dengan fenokris hingga 30-50% (umumnya plagioklas;dengan ukuran buti hingga 3 mm. Fenokris lainnya termasuk didalamnya diopside-clinopyroxene (hijau pucat), biotit, sedikit apatit dan hornblende (hijau);
Kristal-kristal yang besar dalam hal ini sanidin (hingga 1 cm) yang teramati hadir bersamaan dengan magnetit dan beberapa matrik gelas tanpa kehadiran olivine. Berdasarkan pengamatan megaskopis batuan hasil dredging yang diambil di sekitar Abang Komba dengan kedalaman umunya berkisar antara 400 hingga 800 m, memperlihatkan adanya indikasi gejala hidrotermal dengan hadirnya mineral pirit (piritisasi) yang merupakan cirri dari endapan mineral logam hidrotermal sulfida (Halbach, 2002) pada beberapa contoh batuan yang di ambil pada sisi utara Abang Komba, misalnya di lokasi 54 DB (dengan kedalaman dasar laut 653-845 m) memberikan kenampakan adanya alterasi hidrotermal berupa diseminasi pirit. Lokasi 55 DB (kedalaman dasar laut antara 398-494 m) pada batuan segarnya secara mata telanjang dapat diamati adanya fenokris biotit dikelilingi oleh butiran halus feldspar. Sedangkan pada batuan vulkanik yang telah teralterasi dapat diamati adanya mineralisasi pirit yang menyebar (disseminated) dan mengisi rekahan-rekahan kecil pada batuan (microfracture) demikian pula pada lokasi 56 DB (kedalaman dasar laut antara 351-365 m) pada batuan andesitan yang telah teralterasi memperlihatkan diseminasi pirit.
Indikasi adanya gejala mineralisasi ini ditunjang dengan ditemukannya beberapa contoh batuan gossan (tersusun atas oksida besi, dengan konsentrasi besi sekitar 30% Fe2O3) yang diperoleh pada bagian selatan struktur Punggungan Komba, contohnya pada lokasi 66 DB (di kedalaman dasar laut antara 310-380 m) dengan ditemukannya contoh gossan ini membuktikan adanya proses mineralisasi derajat tinggi sepanjang lereng Abang Komba. Secara kenampakan megaskopis gossan ini, berwarna kekuningan hingga kecoklatan berikut hadirnya oksida besi dengan ketebalan beberapa millimeter.
Demikian pula berdasarkan hasil pengukuran temperatur air laut di atas struktur Punggungan Komba (lokasi 60 CTD) memperlihatkan adanya anomali temperature pada kolom air laut antara kedalaman 300-320 m, walaupun lonjakan ini tidak begitu ekstrim namun cukup signifikan untuk di amati sebagai salah satu indikasi proses hidrotermal bawah laut.
Berdasarkan hasil analisa geokima terhadap beberapa contoh hasil dredging memperlihatkan adanya beberapa tingkatan variasi alterasi yang terjadi. Mineral utama yang kurang teralterasi adalah feldspar (plagioklas dan sedikit sanidin), hornblende dan biotit, dicirikan dengan variasi penjumlahan potassium dan sodium oksid berkisar antara 7 hingga 9%. Contoh yang mengalami alterasi tahap lanjut dicirikan dengan adanya penurunan konsentrasi Na2O dan K2O yang berasosiasi dengan kenaikan sedikit dari SiO2.
Yang menarik untuk dicermati di sini, adalah berhasil diindentifikasi adanya keterdapatan konsentrasi emas hingga 300 ppb (setara dengan 0.3 gr/ton), 4 ppm Ag, 80 ppm As, 106 ppm Zn, konsentrasi Cu hingga 100 ppm dan Pb mencapai 80 ppm.
Kesimpulan
Berhasil dikenali adanya kenampakan morfologi 2 gunungapi bawah laut di tenggara Komba dengan arah kelurusan baratlaut-tenggara, yaitu Abang Komba dan Ibu Komba yang secara morfologi dengan memperhatikan adanya gejala erosional, diduga relatif makin tua kearah selatan. Selain itu di selatan Pantar dikenali adanya 1 kenampakan morfologi gunungapi bawah laut.
Berdasarkan pengamatan megaskopis yang ditunjang pula oleh data CTD, proses mineralisasi lebih berkembang terdapat di sekitar Abang Komba dibandingkan di selatannya (Ibu Komba dan selatan Pantar).
Dengan dijumpainya contah gossan di selatan lereng Abang Komba, mengindikasikan adanya proses mineralisasi derajat tinggi dengan konsentrasi Fe2O3 mencapai hingga 30%.
Komposisi batuan yang teralterasi berupa high-K volcanic dengan variasi mulai basaltic trachyandesite, trachyandesite hingga trachydacite.
Adanya gejala indikasi mineralisasi hidrotermal dengan ditemukannya mineral pirit dengan tekstur disseminated pada beberapa contoh batuan, khususnya di sekitar Abang Komba.
Ucapan Terimakasih
Dengan terselesaikannya tulisan ini, penulis ucapkan terimakasih kepada seluruh rekan-rekan peneliti yang telah membantu dalam pengambilan data di lapangan maupun selama proses analisa, khususnya kepada rekan-rekan dari Free University, Berlin - kepada Prof. P. Halbach atas kesediannya berbagi pengetahuan dan pengalaman dan juga rekan peneliti Indonesia atas diskusi dan masukannya. Terimakasih juga kepada Komandan BJ IV Letkol (P) M. Mukarrom dan seluruh ABK. Kepada Lili Sarmili, M.Sc, selaku Koordinator Program LSDM dan sesama anggota peneliti, atas masukan dan support datanya. Akhirnya rasa terimakasih, penulis tujukan kepada Ir. Subaktian Lubis, M.Sc – sebagai Kepala PPPGL atas ijinnya penulis dapat mengikuti ekspedisi Bandamin I.
Daftar Pustaka
Halbach, P., et. al., 2003; The break-up of submarine volcano in the Flores-Wetar Basin; Implication for hydrothermal mineral deposition
Halbach, P., 2002; Workshop Eksplorasi Endapan Hidrothermal di perairan Indonesia.
Sarmili, L. drr., 2002; Prosiding kolokium ESDM, Bandung.
Noor C.D Aryanto, drr., 2003: Proseding Forum Balitbang ESDM, Jakarta; Identifikasi endapan Hidrotermal di Kepulauan Komba dan sekitarnya, Laut Flores: sebagai akibat pengaruh sesar geser
Leave a comment