Tinggal hitungan hari, kita akan memperingati Hari Nusantara 13 Desember 2014, yang dicetus pada pemerintahan Presiden KH.Abdurrahman Wahib (Gus Dur) pada tahun 2000.Hari Nusantara mengacu pada lahirnya Deklarasi Djoeanda 13 Desember 1957 yang secara geopolitik dan geoekonomi memiliki arti yang sangat strategis bagi Indonesia. Dengan Deklarasi Djoeanda, menjadikan wilayah laut menjadi sangat luas 5,8 juta km2 atau 3/4 dari
total wilayah Indonesia. Sebelum deklarasi ini, masyarakat internasional mengakui batas laut teritorial hanya selebar 3 mil laut dihitung dari garis pantai terendah, yang berarti perairan antar pulau yang lebih dari 3 mil bukan termasuk wilayah laut indonesia.
Gagasan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada awal pelantikannya mengingatkan bahwa Laut bukan memisahkan kita, sebaliknya Laut adalah Pemersatu kita. Gagasan yang memperkokoh tonggak Hari Nusantara ini. Demikian pula dengan pembentukan kemenko kemaritiman sebagai bagian dari Kabinet Kerja merupakan terobosan penting menuju visi poros maritim dunia yang sesuai dengan slogan Jalasveva Jayamahe (Justru di Laut Kita Jaya). Hal ini juga menginsyaratkan fokus arah pembangunan nasional ke depan telah bergeser dengan turut memprioritaskan sektor maritim termasuk energi dan sumber daya mineral.
Kembali ke makna Deklarasi Djoeanda, sejak tanggal tersebut terjadi perubahan status batas negara yang jauh lebih luas, memberikan peluang besar pengelolaan potensi sumber daya hayati dan non hayati, termasuk potensi energi yang dikandungnya. Energi fosil (migas, gas hidrat, gas biogenik, dan shale gas) juga energi laut yang bersifat terbarukan seperti arus laut,gelombang laut, panas laut (OTEC), dan pasang surut juga berpotensi memberikan sumbangsih signifikan di wilayah perairan Indonesia.
Namun saat ini, kondisi keamanan energy (energy security) nasional terindikasi semakin melemah seiring dengan status Indonesia sebagai net-importer minyak bumi, terus menurunnya produksi minyak mentah (crude oil) yang berakibat target produksi harian sulit tercapai merupakan sebagian problem negeri ini. Per September 2014, produksi minyak mentah dan kondesat hanya 794 ribu barel per hari. Indonesia tahun 1996, terakhir mencapai
puncak produksi sebesar 1,6 juta barel per hari.
Upaya riset kebumian khususnya geologi, geofisika dan teknik perminyakan/reservoir (GGR) yang berkaitan dengan penambahan sumber daya dan cadangan migas nasional, serta peningkatan kegiatan eksplorasi semakin intensif dan berkelanjutan merupakan salah satu langkah tepat memperkuat kembali energy security nasonal. Selain faktor kebijakan nasional,kemudahan fiskal, insentif terhadap proyek berisiko tinggi seperti eksplorasi migas frontier,marginal dan laut dalam dan upaya lainnya yang dapat menambah daya tarik investasi migas.
Tantangan berat sekaligus kesempatan besar bagaimana mengoptimalkan sumber daya dan cadangan migas di perairan, terutama wilayah frontier, marginal dan laut dalam. Wilayah ini sebagian besar terletak di Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang juga menegaskan pentingnya keseimbangan potensi ekonomi wilayah barat dan timur Indonesia yang ujungnya juga demi stabilitas nasional.
Secara global, tambahan produksi minyak dunia ke depan akan di dominasi oleh empat negara, tiga dari wilayah Amerika (AS, Kanada dan Brazil), ditambah Irak yang mewakili wilayah klasik Timur Tengah dari tambahan produksi sumur-sumur minyak yang direhabilitasi pasca krisis. AS dan Kanada berhasil meningkatkan keamanan energi nasionalnya secara signifikan dari penemuan migas non konvensional yaitu shale/tight oil di AS dan oil sand/tar sand di Kanada. Leonardo Maugeri (pakar migas global) memprediksi bahwa produksi minyak AS dalam satu dekade ke depan akan mendekati 12 juta barel per hari,nomor dua di dunia setelah Saudi Arabia. Kanada, akan menjadi salah satu dari 5 besar produsen minyak dunia. Sementara Brazil melalui produksi dari wilayah Laut Dalam,produksi minyak akan sedikit diatas 4 juta barel per hari, meningkat 100% dari produksi saat ini.
bagaimanakah dengan fakta sampai saat ini, orientasi dan kebijakan prioritas Indonesia untuk keamanan energi masa depan?
Sampai saat ini penemuan cadangan minyak raksasa di Indonesia didominasi area darat (onshore) semisal lapangan Minas, Duri dan Cepu. Penemuan (discovery) lapangan minyak lainnya ukurannya jauh lebih kecil. Sebaliknya eksplorasi yang belakangan ini gencar dilakukan di Indonesia timur menghasilkan penemuan cadangan-cadangan gas jumlah besar,bukan minyak. Seperti Tangguh, Area Laut Dalam Selat Makassar Utara (Gandang, Gendalo,Gehem, dll), Masela (Laut Timor), dan terakhir oleh Genting Oil di Bintuni. Dari fakta tersebut, cadangan terbukti minyak nasional terus menyusut dalam 10 tahun ini dari 4,3 miliar barel menjadi 3,9 miliar barel. Sementara cadangan gas masih tetap tinggi, lebih dari 104 triliun kaki kubik.
Peta cekungan migas sediment Tersier yang dikeluarkan SKK Migas (dulu BP Migas) tahun 2008 menginformasikan 86 sebaran cekungan yang berpotensi migas, yang 60 cekungan atau 70% diantaranya terletak seluruh atau sebagiannya di laut. Namun dari 60 cekungan di laut ini, hanya 11 cekungan yang telah berstatus produksi migas. Artinya terdapat 49 cekungan di offshore yang masih berpeluang akan ditemukan lapangan migas baru.
optimalisasi terhadap pengelolaan sumber daya energi kelautan baik energi migas untuk jangak pendek dan menengah, maupun energi laut terbarukan dan energi fosil non konvensional (gas metan hidrat, gas biogenik dan shale gas).
Peluang besar mengawali dan mengembangkan wilayah kelautan yang berpotensi migas,menjadi menjadi tantangan berat sekaligus kesempatan besar untuk memperkuat keamanan energi nasional secara signifikan termasuk keseimbangan ekonomi kawasan barat dan timur Indonesia, yang pada akhirnya demi kesejahteraan masyarakat luas dan stabilitas nasional.
Milestone penemuan cadangan minyak raksasa yang sampai kini masih dominan di darat dan kawasan barat Indonesia, ke depan kita patut berharap dan berupaya temuan minyak dan gas bumi yang signifikan mulai bergerak ke wilayah laut termasuk frontier, marginal dan laut dalam.
Terobosan eksplorasi migas kelautan (knowledge, skill and technology) yang tentunya lebih mahal dan berisiko tinggi selayaknya juga dibuat prioritas. Upaya ini sebagai pergeseran paradigma pemangku kepentingan (stake holder) migas menyambut era energi maritim. Revolusi mental menuju kedaulatan energi berbasis maritim.
Sejauh ini kurang berhasilnya eksplorasi migas di perairan Indonesia, dari aspek teknis pada kitchen problem dan reservoir uncertainty yang tentunya membutuhkan teknologi eksplorasi berkualitas tinggi, dan semakin sinergisnya data GGR (geologi, geofisika dan teknik reservoir).
Terakhir yang juga penting, forum integrasi antar unit instansi pemerintah, perguruan tinggi,BUMN sektor ESDM dan pihak erusahaan kontraktor migas (KKKS) layak untuk semakin diintensifkan, dengan harapan semakin optimalnya hasil riset, kajian dan studi migas untuk 3 menjadi fondasi teknis peningkatan status cadangan dan produksi migas nasional yang berarti juga berdampak pada keamanan energi nasional ke depan. Semoga. ( Oleh. P.Hadi Wijaya,Kandidat Doktor Geologi ITB, Peneliti dan Ketua Pokja Migas Kelautan P3GL Kementerian ESDM ).
Leave a comment