Keindahan pantai di Indonesia yang telah mempesona banyak para wisatawan baik mancanagara maupun domestik tidak bisa dipungkiri lagi. Di antara tujuannya adalah daerah pantai karena di daerah inilah sejuta inspirasi biasanya datang mengalir dengan derasnya.
Apa yang diimpikan terutama oleh para wisatawan mancanagara, untuk negara-negara tropis adalah pesona terumbu koralnya, pantai-pantai yang panjang, putih bersih dan ditanami pohon kelapa yang berderet, yang dikombinasikan dengan sinar matahari, selancar dan air yang jernih berwarna biru kehijauan. Hal inilah yang merupakan daya magnit yang kuat untuk menarik para wisatawan dari negara yang mempunyai empat musim. Sebagian impian mereka mungkin banyak dijumpai di pantai-pantai Bali dan Nusatenggara.
Keberadaan spesies Schlumbergerella floresiana yang mempesona karena telah membentuk pantai yang bersih dengan ditunjang oleh bentang alam berupa perbukitan sedang, dataran berm yang lebar, kemiringan pantai yang sedang dan dipadu dengan kondisi-kondisi lainnya, akan merupakan aset negara bagi daerah yang mempunyai pantai.
Sosialisasi dari Pemerintah Daerah agar menjaga lingkungannya dengan mempertahankan pantai yang bersih dan tidak merusak terumbu yang tumbuh sepanjang pantai perlu digalakkan. Hal ini perlu diberikan dengan menerangkan bagaimana caranya terumbu koral yang tumbuh, menghasilkan akumulasi spesies pembentuk pantai yang indah dan kemudian melestarikannya.
Pendahuluan
Keindahan pantai di Indonesia telah mempesona banyak para wisatawan baik mancanagara maupun domestik, misalnya pantai-pantai Carita, Pelabuhan Ratu dan Pangandaran di Jawa Barat, Nusa Dua (Teluk Benoa), Bali, Senggigi di Lombok dan lain-lainnya. Setiap pantai mempunyai daya pesona masing-masing.
Apa yang menjadi tujuan para wisatawan mengunjungi pantai-pantai tersebut? Tentu tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pantai tersebut harus bersih, indah, nyaman, ombak laut yang paling tidak bisa dipakai olahraga selancar, bentang alam yang indah dan sejumlah kriteria lainnya yang bisa memenuhi keinginan para wisatawan.
Mungkin sejumlah orang telah melihat keindahan pantai P. Bali, P. Lombok, Sumbawa, Flores dan yang lainnya, terutama pantai pasir putihnya yang luas membentang, semua orang lantas terkagum-kagum dengan “pasir putih” tersebut.
Memang secara kasat mata, berdasarkan besar butirnya, butiran “pasir” tersebut termasuk ke dalam jenis sedimen pasir, khususnya pasir berbutir kasar, tidak salah. Kalau “pasir” tersebut diteliti secara mikroskopis, akan lebih kelihatan lagi pesonanya.
Pertama kali Adisaputra (1991), dalam tulisannya mengenai Pantai Benoa Bali, mengungkapkan adanya cangkang fosil Schlumbergerella floresiana yang telah diduga sebagai “pasir putih” tersebut, karena fosil ini mempunyai ukuran butir pasir dari medium sampai sangat kasar. Di perairan ini, fosil ini berasosiasi dengan foraminifera bentos kecil lainnya seperti Amphistegina lessonii, Calcarina calcar, Tinoporus spengleri, Baculogypsina sphaerulata dan Operculina ammonoides yang kesemuanya biasa dijumpai di laut dangkal dengan kondisi laut terbuka dan air yang jernih serta sinar matahari yang cukup untuk dapat menembus ke tempat mereka hidup (Hottinger, 1983).
Yang menarik perhatian adalah bahwa jumlah spesies ini cukup melimpah dengan warna putih susu serta bentuknya yang membulat. Dilihat dari bentuknya ini, diduga bahwa energi di lepas pantai cukup kuat. Pada fase setelah matinya cangkang tersebut, dengan didorong oleh energi yang tinggi dari arah lepas pantai, akan tersapu ke arah pantai dan membentuk akumulasi “pasir putih”.
Darlan drr (1996) memadukan kondisi pantai pasir putih ini dengan keberadaan fosil Schlumbergerella floresiana dan mineral kuarsa. Selain itu ditunjang pula dengan bentang alam yang berupa perbukitan sedang, dataran berm yang lebar, kemiringan pantai yang sedang.
Demikian pula di dalam Darlan drr (1998) panorama pantai serupa dengan bentang alamnya yang ada di pantai Jelengah, Sumbawa Barat telah diteliti.
Penelitian terhadap Schlumbergerella floresiana
Seperti dikatakan oleh Tomascik drr. (1997), bahwa berdasarkan fakta, peran keberadaan foraminifera di dalam perkembangan endapan pantai adalah merupakan nilai yang signifikan secara ekonomi, tetapi sayangnya belum pernah dikenal baik dulu maupun sekarang (tetapi bisa dilihat dalam Adisaputra (1991). Kemudian mereka menulis mengenai kasus Bali dan menyatakan bahwa pesona negara-negara tropis dengan terumbu koralnya, pantai-pantai yang panjang, putih bersih dan ditanami pohon kelapa yang berderet, yang dikombinasikan dengan sinar matahari, selancar dan air yang jernih berwarna biru kehijauan adalah merupakan daya magnit yang kuat untuk menarik para wisatawan dari negara yang mempunyai empat musim.
Disamping semua faktor alam yang diharapkan oleh para wisatawan tersebut, mungkin budaya setempat juga bisa merupakan daya tarik tersendiri bagi mereka dan budaya ini diharapkan dapat dilestarikan.
Dari segi ilmiah, Adisaputra (1998a) telah menguraikan spesies Schlumbergerella floresiana yang banyak mendominasi Pantai Nusa Dua, Bali. Fosil ini membentuk pantai dengan jumlah total sekitar 60 % dari total sedimen. Bentuknya hampir bundar, berwarna putih susu, dengan butiran medium sampai kasar. Besarnya bisa dibandingkan dengan mata uang yang terdapat dalam.
Di Pantai Nusa Dua, Bali, sumber dari spesies Schlumbergerella floresiana ini adalah dari rombakan terumbu yang tumbuh sepanjang pantai, terutama dari Tanjung Lebang sampai Sanur. Di bagian depan dari terumbu biasanya dijumpai ganggang (algae), yang biasanya diperlukan untuk menunjang kehidupan foraminifera. Biasanya spesies ini banyak ditemukan di sekitar terumbu tersebut.
Karena energi di bagian depan dari terumbu yang relatif tinggi, maka kumpulan spesies yang mati akan tersapu ke arah pantai dan membentuk akumulasi cangkang yang terlihat seperti “pasir putih”.
Untuk membuktikannya bahwa itu bukan pasir, Adisaputra (1998b) dalam tulisannya di Pantai Senggigi, Lombok, yang juga pantainya didominasi oleh “pasir” ini, telah membuat beberapa sayatan. Karena spesies ini termasuk ke dalam Foraminifera Besar, maka penelitian bagian dalam dilakukan dengan mudah dengan cara menyayatnya.
Ternyata di Pantai Senggigi ini, ada dua bentuk yang mirip di bagian luarnya tetapi berbeda bagian dalamnya. Disebut mirip karena bentuknya yang hampir bundar untuk Schlumbergerella floresiana dan spesies yang membentuk sudut tumpul yang lebih menonjol untuk spesies Baculogypsinoides spinosus.
Dimana Sumber “Pasir Putih”
Pantai “pasir putih” banyak terakumulasi di:
1.Sepanjang pantai timur Teluk Benoa, P. Bali, mulai dari Tanjung Lebang, Nusa Dua sampai Sanur (Adisaputra, 1991),
2.Pantai Senggigi, Lombok (Adisaputra, 1998b),
3.Pantai Bangko-Bangko, Lombok Selatan, sepanjang pantai Temeran sampai timurlaut Pengawisan (Lubis, 1995, komunikasi lisan), yang menyatakan bahwa sepanjang pantai ini ditutupi oleh pasir putih terdiri dari koral dan fragmen moluska serta “material oolitik” yang berbentuk bulatsempurna dan berdiameter 1-2 mm yang tersebar di daerah ini (75%). Setelah dibandingkan dengan sampel dari Teluk Benoa (Adisaputra, 1991), ternyata adalah “pasir” Schlumbergerella floresiana.
4.Pantai barat Sumbawa (Jelengah, Lugra, drr, 1998)
5.Tanjung Santigi, Sanggar, Sumbawa (Ellis & Messina, 1995)
6.Lepas pantai Flores Selatan (Ellis & Messina, 1995)
7.Sepanjang pantai bagian selatan P. Lembata (P. Lomblen), Nusatenggara Timur (EMDI, Environmental Management Development in Indonesia, komunikasi lisan)
Jika dilihat dari lokasi-lokasi sebaran horizontal, ternyata sepanjang pantai-pantai tersebut banyak dilindungi oleh terumbu koral yang tumbuh di lepas pantainya yang berasosiasi dengan ganggang (algae).
Dari penelitian tersebut ternyata bahwa seleksi mikro-habitat dari foraminifera kemungkinan ada hubungannya dengan simbionnya. Di bagian depan dari terumbu, biasanya banyak dijumpai ganggang yang sangat dibutuhkan oleh foraminifera untuk kelangsungan hidupnya (simbiose). Pada umumnya, kecepatan pertumbuhan yang tinggi dan ukuran cangkang yang besar dari foraminifera gampingan dipengaruhi oleh simbionnya (Ross, 1977, dalam Sakai & Nishihira, 1980).
Tomascik drr (1997) menyatakan bahwa di bagian puncak dari terumbu koral, di Sanur dan Nusa Dua, Bali, yang didominasi oleh ganggang merah (rhodophytes/red algae), hanya dijumpai koloni koral jenis Goniastrea dan foraminifera yang berbentuk bintang Baculogypsinoides spinosus. Dari hasil penelitian Adisaputra (1998b), ternyata foraminifera yang berbentuk bintang ini berasal dari Baculogypsina sphaerulata dan Baculogypsinoides spinosus itu sendiri, sedangkan yang berbentuk bulat adalah Schlumbergerella floresiana. Jadi rupanya di sinilah sumber spesies tersebut berasal, kumpulan spesies ini kemudian setelah matinya, cangkangnya akan tersapu ke arah pantai dan membentuk akumulasi. cangkang yang terlihat seperti “pasir putih”. Spesies Schlumbergerella floresiana ini selain berwarna putih susu juga bentuknya bulat, sehingga memberi kesan bersih dan teratur. Situasi ini sangat menunjang untuk dikembangkan menjadi daerah wisata pantai. Agar spesies ini tetap melimpah jumlahnya, maka terumbu koral yang tumbuh di sepanjang pantai tersebut harus dijaga kelestariannya dan tidak diganggu demi kepentingan lingkungan agar pantainya tetap dalam keadaan bersih.
Simpulan
Pesona negara-negara tropis dengan terumbu koralnya, pantai-pantai yang panjang, putih bersih dan ditanami pohon kelapa yang berderet, yang dikombinasikan dengan sinar matahari, selancar dan air yang jernih berwarna biru kehijauan adalah merupakan daya magnit yang kuat untuk menarik para wisatawan dari negara yang mempunyai empat musim.
Adanya kombinasi dari karakteristik pantai seperti bentang alam yang berupa perbukitan sedang, dataran berm yang lebar, kemiringan pantai yang sedang dan dipadu dengan kondisi pantai pasir putih tentu akan merupakan aset negara bagi daerah yang mempunyai pantai. “Pasir putih” yang pada hakekatnya merupakan akumulasi cangkang spesies Schlumbergerella floresiana perlu dipertahankan kelestariannya. Mengingat spesies ini selalu berasosiasi dengan terumbu koral, maka terumbunyapun harus pula tidak diganggu.
Sosialisasi dari Pemerintah Daerah kepada masyarakatnya agar menjaga lingkungannya dengan mempertahankan pantai yang bersih dan tidak merusak terumbu yang tumbuh sepanjang pantai perlu digalakkan. Sosialisasi ini perlu diberikan dalam suatu penyuluhan dengan menerangkan bagaimana kaitan antara terumbu koral yang tumbuh sepanjang pantai dengan pasir bersih karena ditunjang oleh adanya akumulasi spesies tersebut di atas sebagai pembentuk pantai yang indah dan kemudian mempertahankannya. Tidak ketinggalan juga untuk melestarikan budaya setempat sebagai aset untuk menarik para wisatawan.
Acuan
Adisaputra, M.K., 1991. Mikrofauna dan Potensi Wisata Perairan Benoa Bali. Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral I (2), p. 2-6. Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber-daya Mineral, Departemen Pertambangan dan Energi.
Adisaputra, M.K., 1998a. Schlumbergerella floresiana Accumulation in Coastal Zone of Bali and Nusatenggara, Indonesia: Implimentation for Tourism. Proceeding at Coord. Comm. For Coastal and Offshore Geosci. Programme in East and Southeast Asia (CCOP) 33rd Session, Oct, 30 – Nov. 2, p. 310-316. Shanghai, China.
Adisaputra, M.K., 1998b. Foraminifera Bentos Pantai Senggigi, Lombok Barat, dan asosiasinya; Faktor Penunjang Pariwisata. Makalah kontribusi untuk Pertemuan Ilmiah Tahunan IAGI, Yogyakarta, Des. 1998, 2:p. 53-65.
Darlan, Y., H. Kurnio. Y. Noviadi, 1996. Obyek Geowisata Pantai Lombok Barat Sebagai Alternatif Setelah Bali. Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral IV (61), p. 11-18. Direktorat Jenderal Geologi.
Ellis & Messina, 1955. Cataloque of Foraminifera, Supplement No. 60, Schlumbergerella.
Hottinger, L., 1983. Processes determining the distribution of larger foraminifera in space and time. Utrecht Micropal. Bull.No. 30, 239-253.
Lugra, I., W., Y. Darlan, A. Faturachman, A. Wahib, R. Zuraida, Hartono dan B. Rachmat, 1998. Laporan Penyelidikan Geologi Wilayah Pantai Perairan Sumbawa Barat, Propinsi NTB. Laporan Intern. Tidak diterbitkan.
Sakai,K. and Nishimura, M., 1980. Population study of the benthic Foraminifer Baculogypsina sphaerulata on the Okinawan Reef Flat and preliminary estimation of its annual production, In: Proc. Fourth International Coral Reef Symposium, Manila, vol. 2, pp. 736-766.
Tomascik, T., A. J. Mah, A. Nontji, and A., M.K. Moosa, 1997. The Ecology of the Indonesian Seas. Part I , vol. VII, 642 p. Periplus Editions (HK) Ltd.
Tomascik, T., A. J. Mah, A. Nontji, and A., M.K. Moosa, 1997. The Ecology of the Indonesian Seas. Part II , vol. VIII, p. 648-699. Periplus Editions (HK) Ltd.
Leave a comment