Penyebab Amblasnya Sebagian Badan Jalan RE Martadinata, Jakarta Utara: Second Opinion

Kondisi Tanah Penyangga Badan Jalan

Amblasnya sebagian badan jalan RE Martadinata, Jakarta Utara pada dini hari 16 September 2010, telah mengundang kontroversi mengenai penyebab utama yaitu aspek keteknikan dan aspek fenomena alam. Sebenarnya kedua aspek ini harus erat berkaitan karena konsep keteknikan yang baik seyogianya dirancang berdasarkan kondisi atau fenomena alam yang berpeluang besar mengakibatkan dampak. Salah satu fenomena alam yang luput dari pengawasan keteknikan ini adalah perubahan karakter tanah penyangga yang telah mengalami perubahan sifat fisik akibat naiknya level genangan air tawar dan air laut yang berlebihan.

Menurut data geologi, tanah penyangga badan jalan RE Martadinata adalah lempung-pasiran (termasuk satuan alluvium dataran banjir Jakarta) yang rentan terhadap kandungan air. Sifat umum lempung adalah menciut dan retak pada kondisi kering dan mengembang plastis pada kondisi basah. Jika field capacity kandungan airnya telah terlewati (jenuh air) maka akan mengkibatkan deformasi tanah menjadi bersifat plastis dan gembur menyerupai fluida (lembek cair liat). Pada kondisi ini maka tanah basah ini akan mudah mengalir jika mengalami tekanan dan berubah bentuk fisik menjadi mud flow (aliran atau rayapan lumpur), baik akibat efek gaya berat ataupun tekanan dari atas.

Hal inilah yang diduga merupakan penyebab amblasnya sebagian badan jalan RE Martadinata (sekitar 103m) yang memang secara keteknikan tidak dirancang berkonstruksi jalan layang, tetapi bertumpu langsung pada tanah penyangga di bawahnya. Tanah penyangga yang telah mengalami deformasi menjadi tanah lumpuran ini (akibat tergenang terus-menerus oleh aliran air bawah permukaan, perkolasi, infiltrasi air hujan, dan rob) menyebabkan konstruksi badan jalan tidak cukup kuat menahan beban badan jalan itu sendiri sehingga runtuh (bukan amblas), selanjutnya amblas dan tenggelam secara perlahan-lahan pada fluida tanah di bawahnya sampai kedalaman sekitar 7 m. Jadi kejadian amblasnya sebagian badan jalan ini bukan merupakan kejadian yang luar biasa, melainkan sebagai akibat atau konsekuensi logis dari pengaruh fenomena alam jangka panjang.

Penggunaan Istilah Abrasi Kurang Tepat

Istilah abrasi sebagai penyebab utama amblasnya badan jalan RE Martadinata seperti yang dilansir berbagai media, sebenarnya kurang tepat karena biasanya abrasi (erosi pantai) lazimnya terjadi pada garis pantai yang berhubungan langsung dengan laut. Istilah abrasi menurut kaidah geologi adalah pengikisan garis pantai oleh gelombang dan arus laut, yang mengakibatkan semakin mundurnya letak garis pantai. Dalam hal ini, badan jalan RE Martadinata tidak secara langsung menghadap ke laut lepas.

Ditinjau dari proses deformasi tanah penyangga ini, maka tidak menutup kemungkinan bahwa badan jalan di sepanjang jalan RE Martadinata ini juga akan mengalami hal yang serupa, sehingga diperlukan pemeriksaan detil mengenai kondisi tanah penyangga badan jalan tersebut agar diperoleh solusi yang tepat dan cocok untuk masing-masing kondisi fisik tanahnya.

Teknologi SIR (Subsurface Interface Radar) atau GPR (Ground Probing Radar) lazim digunakan untuk mengetahui kondisi tanah di bawah badan jalan, sehingga upaya antisipasi kejadian serupa dapat dilakukan lebih dini. Prinsip kerja SIR/GPR ini adalah menggunakan gelombang nano (40-200 MHz) untuk merekam struktur tanah melalui penampang citra rekaman. Karakter citra rekaman ini setelah diinterpretasi dapat memberikan gambaran kondisi tanah bawah permukaan secara lebih detil.

Apakah Terkait Fenomena Rob Laut Jawa?

Fenomena banjir pantai (rob) di wilayah pantai utara Jakarta khususnya, dan pantai utara Jawa pada umumnya, masih merupakan enigma (teka-teki) yang belum terjawab secara saintifik. Beberapa pakar oseanografi menyatakan bahwa banjir pantai yang puncak terjadinya secara berkala pada bulan April hingga Juni, disebabkan oleh kemunculan Coastally Trapped Kelvin Waves (CTKWs). Fenomena CTKWs atau lebih populer disebut gelombang Kelvin yang bergerak dari ekuator Samudera Hindia ke arah tenggara sejajar pantai Sumatera, Jawa sampai Lombok, berinteraksi langsung dengan gelombang pasang pada saat pasang purnama, dimana posisi matahari, bulan dan bumi berada pada satu garis lurus. Interaksi ini mengakibatkan kenaikan muka laut rata-rata (MSL) mencapai 25-60 cm diatas MSL rerata tahunan. Selain itu, beberapa pakar geologi pantai juga mengemukakan adanya indikasi amblesan tanah (land subsidence) di kawasan pantai akibat konsolidasi tanah atau penurunan permukaan tanah sebagai konsekuensi logis dari kegiatan pengambilan air bawah tanah yang berlebihan, kegiatan pengerukan, dan reklamasi pantai yang berakibat pembebanan tanah, seperti yang terjadi di perairan dan pantai Semarang.

Pengertian banjir pantai (rob) sebenarnya tidak bisa didefinisikan hanya menurut satu disiplin keilmuan saja, melainkan harus ditinjau dari multi disiplin, karena penyebab utamanya merupakan gabungan dari berbagai perubahan alami yang saling mempengaruhi. Salah satu gejala alam yang cukup dominan adalah perubahan geomorfologi akibat fenomena geologi seperti amplesan (land subsidence), rayapan lumpur (mud creeping), sesar tumbuh (growth fault), atau nendatan dasar laut (slumping) yang merupakan gejala umum dijumpai di kawasan pesisir dan laut dangkal.

Hasil sandingan beberapa peta rujukan secara digital seri Army Map Service (AMS), U.S Army, Washington D.C. cetakan pertama (1958 dan 1959), Topographische Dient (1915-41), data hidrografi tahun 1918-1950 dan 1951 dari Netherland Hydrographic Charts dan USHO Charts, yang terdiri dari 11 lembar peta skala 1 : 250.000, peta-peta seri AMS keluaran Bakosurtanal, peta batimetri Dishidros AL dan peta batimetri laut Jawa kompilasi Puslitbang Geologi Kelautan (1990-2004), memperlihatkan bahwa selama lebih dari 50 tahun, dasar laut Jawa telah mengalami perubahan kedalaman dan bentuk morfologi.

Walaupun sebagian besar morfologi dasar laut Jawa masih memiliki kemiripan pola dari tahun ke tahun, namun ditemukan pula adanya perbedaan kedalaman yang cukup signifikan dengan selisih kedalaman 10,0 meter, seperti yang terjadi di Teluk Banten, perairan Cirebon, Semarang, dan Tuban.

Interpretasi penampang seismik resolusi tinggi dari hasil pemetaan geologi dan geofisika kelautan bersistem oleh Kapal Peneliti Geomarin I milik Puslitbang Geologi Kelautan, Kementerian ESDM, di sepanjang perairan pantai utara Jawa memperlihatkan adanya indikasi sesar tumbuh dan nendatan yang diduga menjadi salah satu efek penurunan dasar laut yang diduga turut memperkuat terjadinya fenomena rob di sepanjang pantai utara Jawa.

Indikasi sesar tumbuh (growth fault) pada sedimen Kuarter yang tumbuh menembus lapisan Holosen berdasarkan rekaman seismik pantul di perairan utara Jawa.

Indikasi sesar tumbuh (growth fault) pada sedimen Kuarter yang tumbuh menembus lapisan Holosen berdasarkan rekaman seismik pantul di perairan utara Jawa.

Leave a comment

Full HTML

  • Web page addresses and e-mail addresses turn into links automatically.
  • Lines and paragraphs break automatically.

Plain text

  • No HTML tags allowed.
  • Web page addresses and e-mail addresses turn into links automatically.
  • Lines and paragraphs break automatically.