Oleh: Subaktian Lubis, Mira Yosi, dan Jemi Godjali
Kemungkinan besar, kawasan pantai karst Nusa Penida merupakan contoh kawasan karst pantai yang terbaik di Indonesia, karena memiliki ciri-ciri proses karstifikasi pantai terkomplit, dimana bentang pantai seperti Wave cut notch, Sea cave, Sea arch, Sea stack dan Stump terekspose secara utuh.
Geomorfologi
Pulau Nusa Penida terletak di sebelah baratdaya pulau Bali dan secara administratif merupakan bagian wilayah kecamatan di Kabupaten Klungkung, Propinsi Bali. Bentang alam daratan Nusa Penida termasuk satuan morfologi perbukitan karst yang berciri gelombang, dengan puncak bukit tertinggi mencapai 528 meter di atas muka laut di Bukit Mundi.
Bukit Mundi dengan ketinggian 528 m merupakan tinggian dari satuan geomorfologi karst bergelombang di pulau Nusa Penida (Foto: S. Lubis, 2015)
Morfologi batuan gamping karst ini memiliki kemiringan lereng landai sampai agak terjal (3 – 50 %) dan beberapa tempat mencapai terjal >30 %, terutama pada tebing-tebing tepi pantai di bagian selatan pulau. Tingkat erosi permukaan relatif kecil hingga sedang, hanya di beberapa tempat tepian pantai yang merupakan daerah abrasi gelombang laut, berpotensi amblasan dan runtuhan (rock falls). Batuan pada bukit-bukit gampingan di pulau ini dapat dibedakan menjadi dua jenis gampingan yaitu koral dan marl. Gamping koral umumnya berkembang membentuk topografi berbukit-bukit dengan kemiringan lereng lebih terjal dibandingkan dengan gampingan pada kawasan marl yang diendapkan pada bagian lembah-lembahnya.
Menurut klasifikasi relief lereng Howard (1987) dan Ford and William (1995), relief perrmukaan di Nusa Penida dapat digolongkan kedalam tiga bentukan yaitu:
1. Wilayah dengan bentukan relief datar dengan sudut lereng 0-3o berbentuk dataran bergelombang dengan ketinggian antara 0-19 m di atas permukaan laut, membentuk lembah datar namun tingkat erosi rendah, terdapat di wilayah Desa Toyapakeh, Desa Ped, Desa Kutampi, dan Desa Batununggul.
2. Wilayah dengan bentukan relief landai 4-9o, lereng berbentuk bukit gelombang, ketinggian berada antara 160-526 m di atas permukaan laut, membentuk lembah seperti huruf U dengan tingkat erosi tinggi terdapat di Desa Tanglad, Desa Sekartaji, Desa Sakti, Desa Bungamekar, Desa Batumadeg, Desa Lembongan, Desa Jungutbatu, Desa Klumpu, Desa Kutampi, Desa Batukandik, Desa Pejukutan, dan Desa Suana.
3. Wilayah dengan bentukan relief agak terjal 10-17o berciri lereng berbentuk bukit memanjang, ketinggian berada antara 20-560 m di atas permukaan laut, membentuk lembah menyerupai huruf V, dengan tingkat erosi sangat tinggi terdapat di wilayah Desa Ped, Desa Tanglad, Desa Sekartaji, Desa Sakti, Desa Bungamekar, Desa Batumadeg, Desa Lembongan, Desa Jungutbatu, Desa Klumpu, Desa Kutampi, Desa Batukandik, dan Desa Pejukutan.
Batuan Gamping Formasi Selatan
Batuan yang ditemukan di Nusa Penida adalah satuan batuan alluvium tersebar di sepanjang pantai terutama di pesisir utara yaitu mulai dari pantai Desa Toyapakeh, Desa Ped, hingga pantai Desa Batununggul dengan luas sekitar 13 Km2, meliputi endapan alluvium dan endapan pantai. Endapan pantai umumnya terbentuk dari material lepas rombakan cangkang dank oral, serta butiran binatang khas perairan tropis yaitu Slumbergerella floresiana. Satuan batuan gamping Formasi Selatan yang berumur Miosen tersebar merata di seluruh pulau Nusa Penida.
Endapan pantai yang terdiri dari rombakan koral dan butiran Slumbergerella-floressiana yaitu binatang karang berbentuk butiran bundar sebagai penciri khas terumbu koral tropis di pantai Toyopakeh, Nusa Penida (Foto: S. Lubis, 2015)
Struktur geologi yang berkembang adalah kekar yang terdapat pada batu gamping. Kekar–kekar ini memperlihatkan gejala terbuka semakin lebar akibat proses pelarutan oleh air hujan dan air pemukaan terutama yang terjadi pada satuan morfologi gamping berlereng terjal.
Batuan Formasi Selatan ini sebagian besar berupa batugamping dengan ketebalan mencapai 600 meter, umumnya memperlihatkan pola kemiringan yang mengarah ke selatan antara 7-10o. Batugamping Nusa Penida ini dibangun oleh foraminifera dan alga yang terbentuk di laut dangkal berumur 16-8 juta tahun yang lalu (Miosen Tengah) yang terakumulasi di dasar laut, kemudian ditutupi oleh sedimen karbonat yang diekstraksi dari air laut melalui proses kimia-fisika. Sedimen karbonat ini tertimbun berlapis-lapis sampai mencapai ratusan meter, dan akhirnya membatu menjadi batugamping. Sekitar 8–5 juta tahun yang lalu (Pliosen), mulailah wilayah laut dangkal ini terangkat sehingga sebagian besar batuan ini mulai muncul di atas permukaan laut, dan pada 2 juta tahun yang lalu (Pleistosen) batuan gamping ini sudah menjadi pulau Nusa Penida seperti yang sekarang .
Batugamping klastik Formasi Selatan di pantai barat Nusa Penida berumur Miosen memperlihatkan pola perlapisan dengan kemiringan (dip) sekitar 7o ke selatan (Foto: Mira Yosi, 2015)
Kandungan fosil yang ditemukan pada batu gamping ini terdiri dari Lepidocyclina emphalus, Cycloclypeus Sp, dan Operculina Sp yang berumur Miosen. Berdasarkan klasifikasi batuan karbonat menurut Dunham (1962) dan modifikasi Embry and Klovan (1971) sebagian batuan termasuk jenis sedimen karbonatWackestone (lebih dari 10% butir), unsorted biosparite, dan sortasi buruk, sedangkan sebagian lainnya termasuk jenis Bindstone (organisms which encrust and bind) dan bahkan masih ditemukan lubang-lubang cacing (burrows), sebagai penciri diendapkan pada lingkungan laut dangkal.
Jenis batuangamping Wackestone tersingkap di selatan tembok pelindung pantai Toyapakeh akibat abrasi gelombang laut, dimana endapan pantai di atasnya terangkut oleh energi flux gelombang memanjang pantai (longshore drift. Foto: S. Lubis, 2015.
Mineralogi
Batu Gamping di Nusa Penida terdiri dari batu gamping non-klastik dan batu gamping klastik. Batu gamping non-klastik merupakan koloni dari binatang laut antara lain: Coelentrata, Moluska, Protozoa dan Foraminifera. Oleh sebab itu, batugamping jenis ini sering juga disebut batu gamping koral karena penyusun utamanya adalah koral. Batu gamping klastik merupakan hasil rombakan batu gamping non-klastik melalui proses erosi oleh air, transportasi, sortasi, dan terakhir sedimentasi. Selama proses tersebut banyak mineral-mineral ikutan lainnya yang terikat sebagai mineral sisipan dan pengotor, sehingga sering dijumpai adanya variasi warna pada batu gamping ini, seperti abu-abu muda, abu-abu tua, coklat, merah, dan hitam. Batu gamping klastik yang lunak tanpa mineral pengotor dan bersih berwarna putih atau batu kapur (bahasa lokal) dimanfaatkan penduduk setempat untuk bahan bangunan dan ornament pura.
Batu gamping klastik (batu kapur) yang ditambang dan dimanfaatkan penduduk setempat sebagai bahan bangunan dan ornamen khas Nusa Penida (Foto: S. Lubis, 2015)
Batu kapur dan dolomit merupakan batuan karbonat utama yang banyak ditemukan pada batuan gamping Formasi Selatan, selain itu juga ditemukan Aragonit yang berkomposisi kimia sama dengan Kalsit (CaCO3) tetapi berbeda bentuk struktur kristalnya. Mineral Aragonit merupakan mineral metastabil karena pada kurun waktu tertentu akan berubah menjadi Kalsit. Karena sifat fisika mineral pada batuan karbonat ini memiliki karakter yang mirip, maka secara makroskopis akan sulit dibedakan, kecuali melalui hasil analisa laboratorium.
Mineral lain yang umumnya ditemukan pada batuan yang berasosiasi dengan batu kapur atau dolomit tetapi dalam jumlah kecil adalah Siderit (FeCO3), Ankarerit (Ca2MgFe(CO3)4), dan Magnesit (MgCO3).
Tipologi Kawasan Karst Nusa Penida
Karst di Nusapenida merupakan karst yang unik sehingga terpilih menjadi salah satu tipe kart dari 17 tipe karst di Indonesia. Pulau Nusa Penida memiliki kawasan karst yang tersusun dari batu gamping klastik dan non klastik. Pada lapisan batu gamping klastik yang umumnya berlapis, terdapat sisipan batuan gampingan berukuran halus dan kedap air. Adanya perulangan jenis batuan ini menyebabkan terjadinya aliran air tanah yang bertingkat. Umumnya bentang alam dolina dan bukit kerucut sebagai penciri kawasan karst tidak berkembang dengan baik. Gua-gua yang terbentuk juga tidak berkembang dengan baik hanya memperlihatkan gejala yang semakin membesar. Dengan demikian, karakteristik kawasan karst Nusa Penida memiliki karakteristik tersendiri, yaitu sebagai suatu kawasan karst yang mampu berkembang walaupun berada pada wilayah yang memiliki curah hujan sangat rendah yaitu di bawah 1.600 mm/tahun (Dena, 2012), bila dibandingkan dengan kawasan karst lainnya. Perkembangan kawasan karst yang berkembang ini tidak terlepas dari faktor jenis batuan yang mudah larut yaitu batuan gamping berbagai kualitas.
Relatif tingginya batuan gamping ini dari permukaan air laut, memungkinkan proses karstifikasi berjalan lebih intensif dan bertingkat. Selain itu, tutupan vegetasi pada kawasan ini cukup merata sehingga memiliki kandungan CO2 dalam tanah yang cukup berlimpah. Tanaman atau vegetasi penutup ini juga memiliki kemampuan yang rendah untuk menahan infiltrasi air hujan ke dalam tanah atau batuan sehingga proses karstifikasi pada kawasan karst Nusa Penida dapat tetap berjalan intensif.
Gua karst yang ditemukan di Nusa Penida umumnya terbentuk pada batu gamping yang masif, dan telah mengalami proses pelarutan. Hal ini diperlihatkan pada bentuk dinding-dinding gua yang mulai membentuk stalaktit dan stalagmit, walaupun bentuknya masih belum sempurna.
Goa pantai yang terbentuk oleh pelarutan dan pengikisan oleh air hujan dan merupakan sungai bawah laut yang mengalir ke Cristal Bay, Nusa Penida (Foto: S. Lubis, 2015).
Bukit karst ini telah mengalami proses erosi yang kuat, dicirikan oleh bentuk perbukitan bergelombang yang menempati sebagian besar kawasan karst. Litologi batuan penyusunnya berupa batu gamping yang telah mengalami pelapukan kuat sehingga mengakibatkan berubahnya tekstur tubuh batuan gamping mejadi lebih lunak. Lembah karst di Nusa Penida juga telah mengalami proses pelarutan sehingga di beberapa tempat telah terbentuk bentang alam yang menyerupai bentuk cekungan walaupun masih belum sempurna. Cekungan-cekungan yang membentuk lembah ini terisi oleh lapukan batu gamping yang disebut tanah Terrarosa yang cukup subur.
Notch Tebing Pantai
Abrasi adalah erosi dinding pantai oleh air laut yang mengikis dinding pantai sehingga mengakibatkan terbentuknya berbagai bentang alam pantai, antara lain cliff (tebing terjal), notch (takik pantai), gua pantai, wave cut platform (punggung yang terpotong gelombang), tanjung, dan teluk. Cliff terbentuk karena gelombang melapukkan dan melunakkan batuan di pantai sehingga bagian luar tebing mengalami runtuhan membentuk tebing pantai yang curam. Gelombang laut pada awalnya membuat retakan batuan di pantai, kemudian retakan ini semakin membesar dan membentuk takik pantai (wave cut notch) yang semakin dalam dan ada kalanya membentuk gua pantai. Jika diterjang gelobang secara terus menerus maka atap notch atau atap gua ini runtuh sebagai jatuhan batuan (rock fall)dan membentuk cliff atau wave cut platform.
Notch (takik pantai) yang dijumpai di sepanjang pantai bertebing pulau Nusa Penida mencirikan abrasi gelombang laut yang cukup efektif sehingga mengakibatkan lekukan dan runtuhan tebing pantai (Foto: S. Lubis, 2015).
Selain itu, ditemukan pula Sea arch yaitu yang berasal dari Sea cave yang telah terabrasi kuat oleh hantaman gelombang kemudian menembus sisi lainnya sehingga menyerupai jembatan, juga banyak ditemukan di pantai barat dan selatan Nusa Penida. Sea stack merupakan tiang-tiang batu yang terpisah dari daratan yang tersusun dari batuan yang resisten sehingga masih bertahan dari hantaman gelombang juga banyak ditemukan di pantai bagian selatan Nusa Penida. Di sekitar Sea stack ini biasanya ditemukan pula Stump yaitu erosi pada dasar Sea stack yang terus- menerus sehingga stack itu runtuh dan menyisakan tubuh stack di bawah permukaan laut. Dengan demikian, kemungkinan besar, kawasan pantai karst Nusa Penida merupakan contoh kawasan karst yang terbaik di Indonesia karena memiliki ciri-ciri proses karstifikasi pantai yang terkomplit, dimana bentang pantai seperti Wave cut notch, Sea cave, Sea arch, Sea stack dan Stump terekspose secara utuh.
Sea arch yang terbentuk pasca sea cave pada pulau kecil di selatan selat Nusa Penida (Foto: Mira Yosi, 2015)
Sea stack merupakan tiang-tiang batu yang terpisah dari batuan induknya akibat abrasi gelombang laut banyak ditemukan di pantai selatan Nusa Penida (Foto: Mira Yosi, 2015)
Beach Cusp
Menurut Dalrymple and Lanan (1976), Beach cusp (katup pantai) adalah formasi garis pantai yang terbentuk dari berbagai ukuran butir endapan pantai membentuk pola lengkung (busur) pada backwash, dan pada ujung katup berbentuk tanduk (horn). Umumnya bagian ujung tanduk (horn) ini dibentuk oleh material pantai berbutir kasar, sedangkan bagian lengkungnya diisi oleh material berbutir halus. Bentuk beach cusp ini hampir selalu membentuk pola yang teratur dengan bentuk katup dan ukuran yang sama. Jarak masing-masing ujung katup pantai ini juga umumnya relatif sama dan membentang di sepanjang garis pantai. Dimensi katup ini bisa berukuran 1 meter sampai 50 meter, tergantung dari jenis, tinggi, dan perioda gelombang yang membentuknya. Umumnya gelombang laut yang membentuknya adalah gelombang insiden yang datangnya tegak lurus garis pantai (Inman dab Guza, 1982). Hal ini terjadi karena ketika gelombang membentur ujung tanduk pantai maka energinya akan terbagi menjadi dua arah yang berlawanan dan bergerak memanjang pantai. Energi gelombang yang menerpa ujung katup katup ini akan mengalami perlambatan kecepatan, sehingga mengakibatkan material berbutir kasar akan terendapkan, sedangkan material berbutir halus akan terbawa gelombang memanjang pantai dan diendapkan di bagian lengkung pantai. Hal ini juga terjadi pada bagian ujung tanduk pantai di sebelahnya, sehingga proses terbentuknya Beach cusp ini merupakan gabungan dari runtunan gelombang perioda pendek yang datang tegak lurus garis pantai.
Kedua gelombang yang menjalar memanjang pantai tetapi berlawanan arah di pantai utara Toyapakeh ini akan menyatu di tengah lengkung pantai (bachwash) sehingga material halus yang terangkut ini akan terakumulasi dari dua arah. Selain itu, pada lengkung pantai ini juga terjadi penumpukan massa air laut. Akibat gaya gravitasi bumi, penumpukan air laut ini akan mengalir kembali kembali menusup ke bawah permukaan laut sebagai rip current skala kecil (backwash return as mini rip current). Proses pantai ini berlangsung selama gelombang ini masih memiliki energi yang cukup untuk mengangkut material pantai. Setelah gelombang melemah atau muka laut surut, aksi gelombang ini umumnya meninggalkan jejak endapan yang simetris, ritmik dan berurutan di sepanjang pantai yang disebut Beach cusp skala kecil.
Bagian ujung tanduk katup pantai (Beach cusp horn) di pantai utara Toyapakeh, dicirikan oleh terakumulasinya endapan material berbutir kasar (Foto: S. Lubis, 2015).
Karena bentuk Beach cusp ini umumnya memperlihatkan pola ritmik, berurutan, seragam dan periodik, maka jarak puncak-puncak tanduk pantai ini dapat dimanfaatkan untuk memprediksi paremeter gelombang yang membentuknya berdasarkan korelasi semi-empiris (Komar, 1971) yaitu:
λ = f ζ, dimana
λ adalah panjang puncak-puncak gelombang insiden
f adalah konstanta yang besarnya ~ 1,5
ζ adalah panjang lengkung katup pantai pada swash zone
Hasil pengamatan Beach cusp yang terjadi di sepanjang pantai Toyapakeh bagian utara sebelah utara dermaga Toyopakeh, menunjukkan bahwa jarak puncak antara puncak cusp sekitar 9 meter. Dengan demikian, maka gelombang laut yang membentuknya adalah gelombang tipe Spilling dengan panjang sekitar gelombang 13-14 m dan perioda 7 detik.
Ritmik beach cusp yang berurutan terbentuk di sepanjang pantai sebelah utara dermaga Toyapakeh, Nusa Penida merupakan jejak proses pantai yang unik dan menarik untuk diteliti lebih lanjuti (Foto: S. Lubis, 2015).
Current Ripple Dasar Laut
Current ripple merupakan ciri fisik dari endapan dasar laut yang dibentuk oleh sistem arus dasar laut dengan durasi yang panjang. Current ripples terjadi akibat aktifitas dari arus atau aliran air bawah permukaan sehingga membentuk pola pengendapan endapan pasiran yang berciri riak atau gelombang yang periodik. Secara umum current ripples dapat terbentuk oleh dua penyebab yaitu current ripple yang dibentuk oleh arus dasar laut dan current ripple yang dibentuk di daratan oleh angin yang disebut endapan eolian (William, dkk, 2007).
Menurut sifat simetrinya, current ripple yang terbentuk oleh system arus laut ini dapat dibedakan bentuknya yaitu:
1. Pola riak gelombang searah atau riak asimetri adalah bentuk sedimen yang dipengaruhi oleh riak gelombang berdiri pada perairan dangkal atau tepi pantai yang terjal atau riak yang dibentuk oleh sistem arus dasar laut yang terus menerus.
2. Pola riak gelombang tidak searah atau riak simetri adalah bentuk sedimen yang terbentuk oleh arus dasar laut yang lemah dan masih dipengaruhi gerak osilasi gelombang laut diatasnya.
Current ripple dasar laut merupakan struktur sedimen yang memperlihatkan bentuk undulasi yang berjarak teratur pada permukaan endapan pasiran atau sebagai bentukan permukaan dasar laut yang memiliki material berupa pasir lepas, yang dicirikan oleh adanya gundukan dan cekungan yang bergantian akibat system traksi arus dasar laut. Ada beberapa parameter untuk memudahkan penentuan jenis ripple yang juga dapat digunakan untuk interpretasi proses pembentukannya, material penyusunnya, dan komponen-komponen serta media pembentuknya. Dalam peristilahan keilmuan sedimentologi atau geologi sedimen, batuan yang terbentuk oleh sistem Current ripples disebut Ripple mark.
Berdasarkan ukuran dimensinya, Ripple mark dapat dibedakan menjadi:
a. Riak kecil (ripple mark) menghasilkan pola cross-laminasi, dengan ciri semua dip (kemiringan) permukaan memiliki arah yang sama, dan berada pada bidang miring yang sama, sehingga arah riak sama dengan arah arus yang membentuknya.
b. Riak menengah (sand wave) lintas laminasi dengan ketinggian antara 10 cm – 1 m, dibentuk oleh sistem arus dasar laut sehingga membentuk pola sand wave (gelombang pasir) dengan stratifikasi hummocky pattern yang jelas.
c. Riak besar (sand bar) dengan ketinggian lebih dari 1 meter, dibentuk oleh sistem arus air atau angin berenergi sangat tinggi seperti aliran sungai, sehingga membentuk sand bar berpola epsilon.
Pesona Current Ripple bawah laut yang unik dan langka ditemukan di mulut Cristal Bay, Nusa Penida pada kedalaman 7-9 m, memperlihatkan bentuk asimetrisλ < 1 m dan h = 20 cm yang mencirikan bahwa sistem arus dasar laut yang menyebabkannya masih dipengaruhi oleh osilasi gelombang berdiri (standing wave) akibat interferensi gelombang pantul oleh dinding pantai yang terjal (Foto: S. Lubis, 2015).
Pesona Bawah Laut Nusa Penida
Pesona kenampakan Current Ripple dasar laut ini memang jarang dijumpai di kawasan pantai karst yang memiliki paritan laut. Karena umumnya batuan karbonat lebih mudah terabrasi dan terkikis oleh air laut, maka sering dijumpai terbantuknya parit-parit atau saluran-saluran (channel) bawah laut, namun biasanya saluran ini tidak berisi endapan pasir karena terangkut oleh arusnya. Bersadarkan hasil pengamatan para penyelam ilmiah (scientific diver), endapan pasiran yang mengisi saluran bawah laut di Cristal Bay ini diperkirakan berasal dari aliran sungai bawah tanah yang bermuara ke teluk dan sekaligus mengangkut endapan pasiran ke laut.
Pesona selat Nusa Penida lainnya yang juga dikenal sebagai salah satu selat yang memiliki saluran bawah laut terdalam (> 300 m) dan aliran arus pasang-surut bertipe semi-diurnal (dua kali pasang dan surut dalam sehari) adalah panorama bawah laut yang sering dimanfaatkan para penyelam scuba untuk melakukan penyelaman drift yaitu menyelam “menunggang” arus sambil menikmati panorama dan biodiversitas bawah air.
Pesona bawah laut selat Nusa Penida yang memiliki keunggulan biodiversitas yang komplit, menyuguhkan pesona tersendiri bagi wisatawan bahari penggemar selam (Foto: Mira Yosi, 2015).
Karakter gerakan massa air semacam ini juga disukai oleh berbagai jenis ikan langka seperti Mola-Mola (Sun Fish) dan Pari Manta (Manta Ray atau Manta Birostris) yaitu jenis ikan-ikan raksasa yang kadang-kadang muncul ke permukaan sehingga menjadi daya tarik yang mempesona bagi wisatawan bahari, khususnya penggemar snorkeling dan selam scuba.
Ikan Pari Manta di perairan Manta Bay 66 berukuran sekitar 4 meter, di lepas pantai selatan Nusa Penida, merupakan ikan khas perairan tropik yang selalu muncul di beberapa tempat tertentu di perairan Nusa Penida, menyuguhkan atraksi yang mempesona bagi wisatawan bahari terutama penggemar snorkeling dan selam scuba (Foto: Mira Yosi, 2015).
Pustaka Terrpilih
Dalrymple, R. T. and Lanan, G. A., 1976. Beach cusps formed by intersecting waves. Geol. Soc. Am. Bull. vol 87: 57-60.
Dena, Kadek, 2012. Kondisi Geologi dan Topografi Pulau Bali. Geografi Universitas Singaraja Bali, Singaraja.
Dunham, R. J., 1962, Classification of Carbonate Rocks according to depositional texture, in Ham, W. E., ed., Classification of carbonate rocks. Am. Association Petroleum Geologist Mem.1, p.108-121
Embry, A. F., and J. E. Klovan, 1972, Absolute water depth limits of late Devonian paleoecological zones; Geol. Rundschau, v. 61 p. 672-686
Ford, D.C. dan P.W. Wiliam, 1995, Karst Geomorphology and Hydrology, Chapmand Hall, London.
Inman, D. L. & Guza, R. T., 1982,. The origin of swash cusps on beaches. Mår. Geol. vol. 49: 133-148.
Komar, P. D. (1971): Nearshore cell circulation and the formation of giant cusps. Geol. Soc. Am. Bull. vol. 82: 2643-2650.
William J. Neal, Orrin H. Pilkey, Joseph T. Kelley , 2007. Atlantic coast beaches : A guide to ripples, dunes, and other natural features of the seashore. Publisher Missoula, Mont. Mountain Press.
Leave a comment