Kegiatan survei Paleo-Oseanografi (selanjutnya berdasar kesepakatan bersama di atas kapal disebut: Ekspedisi Collaborative Research Indonesian Throughflow I yang disingkat CORE IT I) merupakan riset geologi kelautan kerjasama antara Pemerintah Indonesia (diinisiasikan oleh BPP Teknologi) dengan Pemerintah Amerika (Rutgers University) dengan pendananaan dari Pemerintah Amerika melalui National Science Foundation (NSF).
Latar Belakang
Kegiatan survei Paleo-Oseanografi (selanjutnya berdasar kesepakatan bersama di atas kapal disebut: Ekspedisi Collaborative Research Indonesian Throughflow I yang disingkat CORE IT I) merupakan riset geologi kelautan kerjasama antara Pemerintah Indonesia (diinisiasikan oleh BPP Teknologi) dengan Pemerintah Amerika (Rutgers University) dengan pendananaan dari Pemerintah Amerika melalui National Science Foundation (NSF).
Ekspedisi ini didasarkan pemikiran bahwa dinamika kolam panas Pasifik Barat (Western Pacific Warming Pool/ WPWP) yang terletak di sebelah timur perairan Indonesia berhubungan erat dengan variasi ENSO (El Nino Southern Oscillation), dimana perubahan ini akan mempengaruhi pula kondisi dan struktur perairan laut Indonesia. Pada saat El Nino terjadi, kolam panas bergeser ke timur dengan kedalaman lapisan termoklin mendangkal di Pasifik sebelah barat dan perairan Indonesia. Kejadian sebaliknya terjadi pada saat La Nina. Instrumen saat ini (mooring) telah berhasil mengamati perubahan ENSO tersebut dalam skala tahunan, tetapi untuk informasi yang lebih panjang sangat terbatas khususnya di wilayah kolam panas Pasifik Barat selama jaman Holosen.
Pada sisi barat kolam panas tersebut, Benua Maritim Indonesia (BMI) seolah-olah berfungsi membatasi komunikasi proses fisik antara Samudra Pasifik dan Hindia sebagai akibat rumitnya selat dan batimetri di dalamnya. Oleh karena itu, arlindo menjadi elemen penting untuk mengetahui sistem iklim global dan sirkulasi termohalin. Arlindo ini disebabkan perbedaan rata-rata ketinggian permukaan laut antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia sekitar 16 cm yang terjadi pada kolom air permukaan ke 150 m sampai 400 m (Fieux et al., 1994 and Ffield et. Al., 2000).
Kurang lebih 75% dari total arlindo mengalir lewat selat Makassar dan sisanya dari arus tersebut mengalir lewat selat Lombok dan Laut Flores serta Laut Banda sebelum keluar ke Samudra Hindia lewat selat Ombai (Fieux et. Al., 1994; Gordon dan Fine, 1996 serta Gordon dan Susanto, 1999).
Maksud dari kegiatan ini adalah untuk merekonstruksi iklim jaman purba di Perairan Indonesia dan kolam panas Samudra Pasifik (Western Pacific Warming Pool/WPWP) melalui pengumpulan berbagai data, baik berupa data air laut maupun sedimen permukaan dasar laut di perairan arlindo dan sekitarnya dengan tujuan untuk mengetahui faktor pengontrol perubahan iklim masa lalu di Perairan ekuator Pasifik Barat selain itu sejauh mana pengaruh perubahan El Nino Southern Oscillation (ENSO) terhadap posisi termoklin di Perairan Indonesia (khususnya Indonesia Timur) atau yang biasa disebut Arus Lintas Indonesia/ Arlindo (Indonesian Through Flow) dalam perioda ratusan sampai ribuan tahun. Denga kata lain ekspedisi ini lebih jauh ingin menambah pemahaman tentang iklim Zaman Holocene serta melengkapi referensi pengetahuan tentang perubahan iklim global yang terjadi saat ini, serta bagaimana antisipasinya pada masa datang atau merekonstruksi suhu permukaan laut, kedalaman lapisan termoklin dan arlindo transport pada jaman holosen.
Pelaksanaan survei selama 32 hari mulai 2 Juli hingga 1 Agustus 2003 dengan menggunakan Kapal Riset (K/R) Baruna Jaya 8 yang dikelola oleh P2O LIPI. Kegiatan ini melibatkan instansi-instansi (dari pihak Indonesia) sebagai berikut: BPPT (4 scientis dan 2 teknisi), DKP, Puslitbang Geologi Kelautan dan ITB masing-masing 1 scientis, serta LIPI sebagai instasi pengelola kapal selain itu didampingi pula 1 orang security officer dari Dishidros,. Sedangkan dari pihak Amerika Serikat diikuti oleh Rutgers University (1 scientis sekaligus bertindak selaku chief scientist dan 4 teknisi), State University of New York (SUNNY) terdiri atas 1 scientis dan 1 teknisi serta Woods Hole Oceanography Institution (WHOI) 1 scientist dan 5 teknisi.
Kedalaman termoklin pada kondisi normal sekitar 220 m di Selat Makassar, tetapi pada saat El Nino mendangkal menjadi 180 m pada isoterm 15°C sedangkan pada saat La Nina menjadi lebih dalam mencapai hingga 300 m. Total transport juga berubah drastis menjadi 2,5 kali pada saat La Nina jika dibandingkan saat terjadi El Nino (5 Sv menjadi 12 Sv). Adanya pergeseran sinyal skala sepuluh tahunan sebagai efek ganda angin musim Asia dan ENSO dilaporkan oleh Kumar et. al., 1999. Selain penelitian mereka juga menyebutkan kemungkinan perubahan dalam skala seratus tahunan pada suhu permukaan laut di Selat Makassar sebagai refleksi proses iklim dalam skala global.
Penelitian sebelumnya tentang korelasi positif antara kedalaman lapisan termoklin dan arlindo transport dengan ENSO telah menyakinkan kita untuk merekonstruksi sejarah arlindo pada jaman holosen. Ide tersebut dapat dilakukan dengan mengevaluasi perubahan struktur Suhu Permukaan Laut (SPL) atau sering disebut pula Sea Surface Temperatur (SST) hingga lapisan termoklin di beberapa lokasi arlindo di perairan Indonesia dan equator Pasifik Barat. Perubahan struktur suhu jaman purba menggunakan foraminifera Mg/Ca yang merupakan indikator efektif untuk memperkirakan secara independen calcifikasi suhu yang terjadi (Nurnberg et. Al., 1996; Rosenthal et. al., 1997).
Metoda dan Kegiatan Survei.
Metoda yang dipergunakan untuk merekonstruksi struktur termoklin adalah dengan pemakaian Mg/Ca paleotermometri, ini memberikan keuntungan pada pengukuran yang sama fasenya dengan 18O, sehingga dapat memberikan suhu aktual saat terjadinya presipitasi pada cangkang (shell) foraminifera. Dengan demikian berdasar perlakuan pengukuran Mg/Ca dan 18O pada cangkang yang sama, maka SPL yang berpengaruh pada 18O dapat diperkirakan dari kandungan Mg/Ca sehingga perubahan lokal pada saat evaporasi dan presipitasi dapat direkonstruksi. Selain itu secara prinsip, analisa kimia (18O) pada organisme hidup di lapisan atas dan lapisan bawah termoklin dapat digunakan pula untuk merekonstruksi temperatur air laut masa lalu. Namun yang perlu dicermati di sini adalah, kemungkinan hasil yang kurang akurat yang disebabkan ketidakpastian kedalaman calcifikasi pada foraminifera. Untuk itu sebagai langkah antisipasi perlu dilakukan kalibrasi melalui pendekatan pengambilan contoh sedimen permukaan yang benar-benar terdapat pada bagian atas (top) pada berbagai lokasi struktur termoklin di sekitar Selat Makassar dan Kolam Panas Pasifik barat.
Kegiatan pengambilan contoh sedimen permukaan berakurasi tinggi (semaksimal mungkin mendapatkan contoh pada bagian yang benar-benar mewakili bagaian atas) dikonsentrasikan di daerah kontinental slope dari beberapa kepulauan di Indonesia yang menjadi lintasan utama arlindo (sekitar Selat Makassar).
Secara ringkas ada 5 (lima) kegiatan utama yang dilakukan di atas kapal:
(1) Pengambilan contoh sedimen permukaan dasar laut berakurasi tinggi dengan menggunakan multi core di beberapa lokasi seperti Laut Bali, Selat Makasar, Laut Sulawesi dan beberapa titik yang dipengaruhi kolam panas Pasifik Barat (termasuk di dalamnya transek vertikal sampai kedalaman 200 m); (2) Pengambilan contoh sedimen permukaan dari transek kedalaman yang mencuram (down slope transect depth) dengan menggunakan gravity core, dengan maksud agar dapat dilakukan kalibrasi pada instrumen geokimia; (3) Pengambilan contoh air laut (water sampler) pada beberapa kolom lapisan kedalaman untuk mengetahui tingkat salinitas, kecerahan, dan temperatur saat ini dengan menggunakan CTD sekaligus bersamaan dengan kegiatan ini dilakukan analisa kimia air (hydrocast) antara lain untuk mengetahui kandungan nutrisi, kadar oksigen dan unsur lain yang terlarut; (4) Pengambilan contoh plankton yang masih hidup di beberapa titik tertentu di kedalaman tertentu untuk mengetahui variasi dan distribusinya kaitannya dengan sifat fisik dan kimia air, dengan menggunakan alat plankton net; dan (5) Pengerjaan contoh untuk mengetahui kandungan Magnetik (magnetic succeptibility) dalam sedimen dengan menggunakan alat Multi Sensor Tracking (MST) Logger di lokasi-lokasi dimana dilakukan pengambilan contoh secara gravity core.
Multi Sensor Tracking (MST)
Perolehan Contoh
Pengambilan contoh dikonsentrasikan pada sedimen lumpuran dengan pertimbangan pada sedimen ini banyak terakumulasi foraminifera, selain itu pada sedimen ini dapat terpantau apakah contoh yang terambil benar-benar pada bagian atas (terlihat pada tabung multicore).
Untuk itu lokasi-lokasi yang dihasilkan dari kegiatan ini pada daerah-daerah teluk atau tepian cekungan dimana akumulasi material kasar diharapkan tidak begitu dominan. Lokasi-lokasi yang dimaksud adalah: Cekungan Bali (5 titik, kedalaman dasar laut antara 400 – 900 m), Channel antara Selat Makassar & Cekungan Bali: (4 titik, kedalaman berkisar antar 400 – 1950 m); Tepian Sulawesi Bagian barat (23 titik); Tepian Kalimantan Timur (8 titik); Palung Laut Sulawesi (2 titik, yang merupakan lokasi laut dalam mencapai hingga 2442 m); Teluk Kau, Halmahera (10 titik, kedalaman antara 200 m – 475 m), Laut Halmahera utara (2 titik, kedalaman berkisar 1100 m hingga 2000 m); dan Tepian Sulawesi bagian selatan (12 contoh, kedalaman antara 350 m – 800 m).
Jumlah total contoh yang dihasilkan menurut metoda yang digunakan adalah sbb: sebanyak 63 titik (gravity core), 54 titik (multi core), 17 contoh (hidrocast) dan 10 contoh (plankton net).
Arti Penting Survei
Hasil riset ini nantinya akan mencoba merekonstruksi iklim osenografi purba yang terjadi di wilayah ekuator Pasifik Barat kaitannya dengan karakteristik arlindo pada jaman holosen, yang meliputi variabilitas suhu, kedalaman lapisan termoklin dan karakter arlindo secara umum yang berhubungan dengan perubahan iklim global dalam skala waktu yang panjang. Dengan memahami ini semua, dimaksudkan kita akan mampu memprediksi segala perubahan-perubahan ekstrem yang sedikit banyak dapat menggangu ruang dan lingkungan kita secara keseluruhan. Apalagi mengingat salah satu lokasi survei, antara lain berada di Selat Makassar yang merupakan kawasan strategis dan penting, karena merupakan celah yang mengalirkan bagian terbesar massa laut dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia, selain itu kawasan ini berbatasan pula dengan Kalimantan Timur yang secara potensi sumber daya alam dan ekonomi regional memiliki arti yang sangat signifikan. Selain itu diharapkan pula data dari hasil survei ini dapat memberikan kontribusi atau paling tidak dapat dijadikan sebagai salah satu acuan bagi riset lain dimana PPPGL juga turut terlibat secara penuh dengan pihak Belanda (ICOMAR).
Leave a comment